Magrib kemarin, Rabu (30/12/2009), pukul 18.40 WIB, Indonesia kehilangan Bapak Bangsa, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid. Banyak yang kehilangan beliau, bukan karena ke-nyentrikannya sebagai tokoh bangsa, tapi lebih pada sosoknya yang bersahaja dan terbuka terhadap apa saja, meski banyak juga yang menghujatnya terutama oleh para lawan politiknya.
Gus Dur pantas dijuluki "Bapak Multikulturalisme", karena beliau sangat berperan penting dalam mengatasi berbagai persoalan yang dapat mengganggu kerukunan beragama dan bersukubangsa. Gus Dur sangat memperhatikan isu-isu pluralisme tersebut.
Dalam kerukunan beragama, Gus Dur mengajarkan bahwa agama bukan menjadi alat bertempur melainkan sebagai pesaudaraan antarumat beragama. Selain itu, Gus Dur juga mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan pendapat, menghilangkan diskriminasi berdasarkan ras dan agama, serta mewujudkan kemandirian bangsa dalam arti luas.
Bagaimana dengan mantan-mantan penguasa lainnya sebelum era Gus Dur? Setiap mantan penguasa yang pernah berkuasa di Indonesia, memiliki ciri kepemimpinan yang unik dan membuat mereka selalu dikenang dan dikagumi oleh para pengikut dan pengagumnya.
Bung Karno atau Soekarno, beliau banyak mendapat julukan dari para pengikut dan pengagumnya. Sebagai orator yang ulung (bahkan disebut-sebut sebagai orator ulung setelah Abraham Lincoln), Bung Karno dijuluki sebagai "Bapak Orator".
Setiap orang akan terkesima ketika mendengar beliau melakukan orasi. Meski saya belum pernah mendengar beliau berorasi secara langsung, tapi saya meyakini hal itu, tentu saja berkat cerita-cerita dari orang tua tentang Bung Karno yang pernah saya dengar.
Bung Karno juga dikenal sebagai "Bapak Proklamator" bersama Bung Hatta, karena beliaulah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya, meski didesak oleh kaum muda pada waktu itu.
Lain Bung Karno, lain pula Pak Harto atau Soeharto. Penguasa Orde Baru ini dijuluki sebagai "Bapak Pembangunan". Memang tak keliru julukan ini diberikan pada beliau. Dalam membangun negeri ini, beliau mempunyai program jitu yang disebut "REPELITA" atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Setiap pembangunan direncanakan beliau dengan matang dan terencana, jadi tak heran pada masa kekuasaan beliau terbit buku yang berjudul "Manajemen Soeharto". Tak bisa dipungkiri, program Pak Harto bisa kita nikmati hasilnya hingga sekarang, meski hasilnya itu sebagian besar digerogoti oleh para kroni-kroninya, hingga menyebabkan kejatuhannya.
Kejatuhan Orde Baru menyebabkan Habibie naik ke panggung kekuasaan. Tak banyak yang bisa diceritakan tentang Habibie sebagai penguasa, karena begitu singkatnya kekuasaan yang beliau pegang, apalagi beliau tak bersedia untuk berkuasa dalam waktu lama. Beliau dianggap sebagai penguasa transisi. Jika Habibie sebagai penguasa berlangsung lama, Habibie bisa dijuluki sebagai "Bapak Teknologi", karena (mungkin) beliau akan membangun Indonesia ini dengan beragam teknologi, hingga sejajar dengan negara-negara maju seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.
Bagaimana dengan Ibu Megawati? Kiprah mantan penguasa yang satu ini patut diperhitungkan, karena pada masa pemerintahan beliau "KPK" atau Komisi Pemberantasan Korupsi pun lahir. Pada masa kekuasaannya, Ibu Megawati meneken keputusan menyangkut pengesahan lima pemimpin Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 26 Desember 2003.
Komisi itu berwenang menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi kakap dengan nilai kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga ini memang didesain menjadi ujung tombak pembersihan praktek korupsi dari sistem penyelenggaraan negara.
Jadi, julukan apa yang pantas buat Ibu Mega? Mungkin "Ibu Anti Korupsi" (atau ada yang lain?).
Sekarang kita akan menunggu kiprah apa yang akan dilakukan oleh penguasa saat ini, agar para pengikut dan pengagum beliau bisa memberi julukan yang positif untuknya setelah tak berkuasa. Wait and See ....
0 comments:
Post a Comment