Saturday, April 24, 2010

EMPAT WANITA BERPENGARUH DALAM HIDUPKU

Selama hidup yang kujalani hampir 40 tahun ini ada empat wanita yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Mereka membentuk alur dan cara berpikirku tentang hidup hingga tak picik memandang dunia, terutama dunia perempuan. Dan berkat mereka, aku begitu menghormati dan tak memandang remeh kaum perempuan. Kekuatan mereka sama kuatnya seperti kaum laki-laki, dan aku berusaha memahami perasaan mereka meski terkadang kekhilafan tak alpa menerpaku, hingga pernah menyinggung perasaan mereka. Ego laki-laki tak 100 persen hilang dalam diriku, namun paling tidak, ego itu tak menjajah pikiran dan sikapku, I'm only human being.

Perempuan pertama adalah nenekku, beliau melahirkan ibuku dengan penuh perjuangan. Beliau dijuluki Nenek Cantik, bukan semata karena wajahnya yang cantik tapi kelakuan dan perjuangannya menjalani hidup pun sangat cantik. Demi membesarkan dan menghidupi anak-anaknya yang berjumlah selusin lebih, beliau rela membanting tulang membantu sang suami, kakekku, yang tak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Nenekku berdagang apa saja hingga jauh sampai ke negeri seberang, Malaka. Beliau buta huruf dan tak mengenal angka. Ia menghapal nilai mata uang dari warna, gambar, dan bentuk uang tersebut, dan ingatan beliau cukup diacungi jempol.

Ada banyak kisah yang menemani perjalanan hidupnya, dan semuanya cukup menarik untuk diceritakan kembali, terutama untuk pelajaran hidup. Kisah nenekku pernah dimuat dalam sebuah majalah terkenal sekitar tahun 1983. Nenekku begitu tegas terhadap anak-anaknya, namun penuh kebijakan dan kebajikan hingga anak-anaknya sangat menghormati dan mengagumi beliau. Meski nenekku selalu bepergian ke luar rumah untuk mencari nafkah namun beliau tak melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Sebelum pergi, nenekku selalu menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya, demikian yang pernah kudengar dari sepenggal cerita tentang dia. Perjuangan nenekku tak sia-sia, anak-anaknya, terutama yang laki-laki banyak yang menjadi 'orang' dan memiliki kehidupan yang bercukupan. Sayangnya, nenekku tak bisa menikmati keberhasilan anak-anaknya tersebut, beliau keburu dipanggil Tuhan ketika usiaku 11 tahun, kanker paru-paru menggerogoti tubuhnya.

Perempuan kedua adalah ibuku. Ternyata nasib yang pernah dialami nenekku, juga dialami ibuku. Mereka hidup bersama laki-laki yang tak mampu memberi mereka kenikmatan materi yang berlebih, semua serba kekurangan hingga akhirnya mereka mengambil tanggung jawab suaminya. Aku tak mempersalahkan kakek dan bapakku, mereka hanya laki-laki yang tak mau tergoda dengan kekayaan duniawi, mereka cuma ingin berada di jalur yang benar, tanpa korupsi dan kebohongan, apalagi demi mendapatkan uang yang berlimpah.

Ibuku seorang yang tangguh seperti halnya nenekku. Beliau rela mengayuh sepeda hingga berpuluh-puluh kilometer demi mendapatkan uang, berpanas-panas di tengah terik matahari demi hidup dan pendidikan anak-anaknya, hingga penyakit lever pernah menyerangnya. Semua dilakoninya dengan hati yang sabar dan ikhlas. Sebelum berangkat keluar rumah, ibuku juga selalu menyiapkan makanan untuk anak-anak dan suaminya di atas meja. Pokoknya urusan rumah tangga diberesi dahulu sebelum keluar rumah.

Banyak petuah hidup yang disampaikan ibuku terhadap anak-anaknya, dan tanpa disampaikan pun aku bisa menginterpretasikan sendiri semua gerak-gerik dan sikap ibuku. Kemampuan berpikir ibuku jauh di atas rata-rata, beliau perempuan cerdas meski tak pernah mengecap sekolah tinggi. Kemampuan verbal ibuku pun layak diacungi jempol, two thumbs to my mom. Beliau tak hanya bisa memengaruhi orang, tapi juga bisa membawanya ke tengah orang-orang berkuasa di daerah. Meski tak punya jabatan penting, namun ibuku cukup dianggap penting oleh para penguasa daerah tersebut, mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, hingga Provinsi, terutama untuk mendekati masyarakat kecil. Ibuku seorang organisatoris ulung tapi tak pernah melupakan keluarganya.

Perempuan ketiga adalah adik ibuku, seorang wanita penulis yang tegas dan tak pernah mau diperbudak oleh materi. Seandainya mau, ia bisa mendapatkan itu semua dengan mudah. Aku sangat salut dengan perempuan yang satu ini, cara berpikir dan wawasannya buat aku terkagum-kagum. Tak heran kalau beliau bisa masuk jajaran sastrawan Indonesia walau tak seterkenal Taufik Ismail, Gunawan Muhammad, Hamsad Rangkuti, ataupun almarhum Rendra, karena bukan itu yang dia cari. Keterkenalan malah akan membuat orang jadi sombong dan pongah, yang penting kualitas yang ada dalam pikiran, bukan apa yang dilihat orang.

Kemampuan verbalnya juga layak diacungi jempol. Aku ingatkan, jangan coba-coba beradu argumen dengannya kalau tak siap dengan segudang wawasan dan pengetahuan. Adik perempuan ibuku ini bagai perpustakaan berjalan, semua pengetahuan ada di benak beliau. Kegilaannya membaca buku sudah ia lakoni sejak kecil. Tanyakan padanya tentang politik, budaya, dan sastra, ia akan menjawabnya dengan lugas dan gamblang. Lagi-lagi, andaikan ia bisa mengecap pendidikan yang lebih tinggi, ia sudah bergelar guru besar di bidangnya, bersanding dengan teman-temannya seperti Profesor Riris Sarumpaet atau Profesor Melani Budianta. Aku banyak belajar tentang kebajikan padanya dan kiat-kiat menjalani hidup dan pergaulan. Meski aku tak setuju 100% dengan beberapa petuahnya, namun kalau dipikir lebih dalam lagi ada benarnya juga.

Adik perempuan ibuku ini juga tipe wanita mandiri yang tak tergantung dengan laki-laki. Suaminya seorang pelukis terkenal, yang kualitas lukisannya bisa disejajarkan dengan Affandi, Hendra Gunawan, ataupun Basuki Abdullah. Mereka tak pernah mengejar materi, hidup mereka jalani dengan sederhana, tak neko-neko, yang penting semua rezeki didapat dengan cara halal. Tinggal beberapa tahun bersama mereka buat aku jadi tahu diri dan sadar kalau aku bukan apa-apa dibanding mereka. Tanpa mereka aku tak akan pernah menjadi yang sekarang.

Perempuan keempat dan terakhir adalah istriku. Ia juga tipe perempuan mandiri, tak pernah tergantung dengan laki-laki, semua ia lakukan sendiri. Ia tak pernah merengek-rengek seperti perempuan manja lainnya. Hidup bersamaku ia jalani dengan apa adanya, tak banyak tuntutan hingga aku lebih tenang menjalani hidup dan tugas keluarga. Istriku juga seorang yang soleh, bertanggung jawab terhadap suami dan anaknya. Keletihannya keletihanku juga, ia harus bekerja di luar rumah sebagai tenaga pengajar di dua perguruan tinggi di Jakarta. Ini ia lakoni karena kebelum-mampuanku memenuhi kebutuhan keluargaku dengan maksimal. Apakah ini karmaku, aku tak tahu.

Seperti ketiga perempuan di atas, kecerdasan istriku juga bisa diacungi jempol, semua di atas rata-rata. Di lingkungan kerjanya ia sangat dicintai teman-teman seprofesinya, terutama para mahasiswanya. Setiap pengajaran dimulai ia selalu berdoa semoga ilmu yang ia ajarkan melekat dalam otak anak-anak didiknya. Ternyata kebiasaan ini cukup bertuah, khususnya bagi para mahasiswa tersebut. Di kalangan mahasiswanya ia cukup terkenal dan dicintai. Namun sebagai manusia, ia juga masih banyak belajar terutama tentang kebajikan dan kearifan, meski menurutku sudah cukup.

Sebagai cucu, anak, ponakan, dan suami, aku minta maaf pada keempat perempuan di atas, karena aku belum mampu membahagiakan mereka dengan limpahan materi dan kesenangan jiwa yang cukup. Semua masih dalam proses, meski aku tak tahu proses itu sampai di mana batasnya. Aku masih butuh doa dan dukungan mereka. Kepada Allah aku mohon ampun atas semua ini, semoga rahmat dan ridho-Nya masih mengalir dalam keluarga ini, Amin.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More