Thursday, June 10, 2010

ANAKKU DAN EINSTEIN

Sebenarnya kesal juga hari ini, anakku gagal masuk SD Negeri unggulan (berkategori SSN). Bukan karena dia bodoh, tapi pesaingnya (mungkin) lebih banyak yang lebih pintar. Aku yakin anakku enggak bodoh-bodoh amat, karena dia juga berhasil masuk di sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) peringkat A, meski cuma dapat peringkat 4 tapi dia berhasil mengalahkan 200 calon murid lainnya. Introspeksi diri sebagai orang tua layak aku lakukan, apanya yang kurang dari anak itu. Membaca, dia sudah bisa, berhitung plus-minus juga sudah, perkalian juga sudah, kemandirian seperti pakai baju, celana, kaus kaki, dan sepatu sendiri juga sudah, keberanian tampil di depan umum juga layak diacungi jempol, penuh percaya diri, dan tak takut sama orang lain, komunikasi dan bergaul juga enggak ada masalah, dia juga bukan autis, what's wrong with my son? Kenapa masih sekecil itu dia sudah mengalami kegagalan ya.


Itulah hasil dari terciptanya sebuah sistem, sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah sekarang mengkotak-kotakkan kelas dalam sekolah itu ke dalam beberapa kotak, ada kelas berkotak RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), ada berkotak SSN (Sekolah Standar Nasional), dan terakhir ada kelas yang berkotak Reguler. Intinya, kepintaran siswa itu sudah dikotak-kotakkan ke dalam kelas-kelas tadi. Siswa berkotak RSBI tentu lebih unggul dari segi kepintaran, kecerdasan, dan kemampuannya, demikian pula dengan siswa-siswa yang berkotak SSN, tentu lebih unggul ketimbang siswa berkotak Reguler. Meski keunggulan tersebut masih dipertanyakan keabsahannya, apakah benar-benar unggul atau hanya untuk meningkatkan prestise sekolah tersebut, who knows.

Bagiku, pengkotakan itu menyulitkan siswa Reguler untuk bersaing dengan siswa RSBI dan SSN secara maksimal. Bukan apa-apa, Siswa RSBI dan SSN sudah dipastikan akan mendapat berbagai fasilitas pendukung belajar yang lebih baik, seperti teknologi multimedia dan sarana pembelajaran lainnya. Mereka juga bakalan mendapat kegiatan ekskul yang lebih baik dan plus juga. Lantas, bagaimana nasib siswa yang berkelas Reguler. Katanya sih tak berbeda jauh dari yang berkelas RSBI dan SSN, namun dalam kenyataannya tetap jelas perbedaannya, terutama dalam hal perlakuan. Siswa RSBI maupun SSN tentu dianggap lebih istimewa. Lagian, untuk apa bayar mahal di kelas RSBI atau SSN kalau tak mendapat fasilitas pendidikan yang lebih baik, dan tak diperlakukan istimewa. Jadi, kalau ada yang beranggapan demikian, terutama kalangan pendidik, yang menyatakan kalau ketiga tipe kelas itu tak berbeda jauh, that's so silly. Emang orang tua murid bego semua, ngapain juga keluar biaya besar kalau tak mendapat fasilitas yang pantas dan memadai.

Aku enggak bisa bayangkan, seandainya pengkotakan standar kelas di sekolah tersebut sudah ada sejak zaman Albert Einstein masuk sekolah dasar. Tentu Einstein tak bakal bisa masuk kotak RSBI, bahkan yang berkotak Reguler juga tak bakal mau menerima dia. Einstein kecil dahulu dianggap sebagai anak yang lambat, dyslexia, pemalu, dan struktur yang jarang dan tidak biasa pada otaknya (yang diteliti setelah kematiannya). Sampai dia sekolah pun anggapan itu terus melekat dalam dirinya. Bahkan, Einstein mulai belajar matematika pada umur dua belas tahun. Pokoknya Einstein itu pelajar yang bodoh waktu itu. Tapi, pihak sekolah tetap memberi kesempatan pada dia dan tak putus asa atas kemampuannya. Akhirnya, siapa sangka, dibalik kebodohannya itu, ternyata Einstein itu seorang yang jenius. Dia berhasil menciptakan teori relativitas yang mampu mengubah dan mempengaruhi sistem kehidupan umat manusia hingga sekarang.

Baca riwayat hidupnya Einstein buat aku sedikit terhibur, kemampuan anakku ternyata jauh lebih baik ketimbang Einstein kecil dulu, dan aku yakin, di sekolah manapun anakku berada, dia akan melebihi Einstein, jika dia sungguh-sungguh, semoga.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More