Monday, July 26, 2010

SI BAGEDOK

Bagedok adalah nama seorang temanku saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5. Ada suatu kisah tentang dia yang ingin kusampaikan, meski kisahnya sepele, tapi bisa dijadikan bahan renungan dan pembelajaran bagi kita dan anak-anak kita.

Bagedok bukanlah nama sebenarnya, itu cuma nama panggilan di kalangan teman-teman dekatnya dulu. Nama sebenarnya cukup bagus, Budi. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran. Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan nama karakter. Kalau disandingkan dengan budi pekerti maka dapat diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.

Bagedok anak yang tampan, sayang kelakuannya kurang bisa dipuji, suka bolos, dan sering tak masuk sekolah. Jadi tak heran kalau sampai duduk di kelas 5 SD dia belum bisa baca, dan selalu naik kelas dengan kategori "naik percobaan". Bahkan sudah dua kali dia tidak naik kelas. Bagedok sebenarnya teman satu kelas abangku. Namun karena tidak naik ke kelas 6, akhirnya dia satu kelas denganku di kelas 5.

Bagedok punya saudara banyak, seingatku dia 8 bersaudara, dia anak nomor dua, abangnya pergi merantau ke Jakarta. Orangtuanya berdagang di Pajak Simpang Limun di kota Medan. Istilah "pajak" itu merupakan sebutan orang Medan untuk menyebut "pasar". Terkadang bapaknya "narik" (nyetir) bemo atau "sudaco". Orang medan menyebut angkutan umum dengan nama "sudaco". Mereka hidup pas-pasan.

Setamat Sekolah Dasar, aku kehilangan kontak dengan Bagedok, cuma sesekali aku ketemu dia, pas lagi ke pasar atau ketemu di jalan. Setelah SMP hingga masuk perguruan tinggi aku tak pernah lagi ketemu dia. Kabar terakhir yang sempat aku dengar dari teman SD-ku yang lain, Bagedok ikut merantau ke Jakarta bersama abangnya. Namun aku tak pernah ketemu dia ketika aku sudah tinggal di Jakarta.

Sekitar 10 tahun yang lalu, saat pulang ke Medan, tanpa diduga aku ketemu Bagedok di Jalan Sisingamangaraja, dekat pertigaan jalan ke rumahku, daerah Simpang Limun. Bagedok tak lagi berbaju, sangat kumuh, rambut terurai panjang, tertawa riang sepanjang jalan, dan menari-nari di jalan itu dengan asyiknya, seolah-olah ada musik dangdut di depannya, terkadang dia marah-marah pada abang-abang tukang becak yang menertawakannya. Bagedok tak lagi normal seperti dulu. Menurut temanku yang sempat kutemui, Bagedok menjadi korban Narkoba di Jakarta, karena terlalu over, syaraf di otaknya pun rusak, hingga buat dia jadi gila. Kini, 10 tahun telah berlalu sejak ketemu Bagedok di jalan itu, aku enggak pernah mendengar kabar beritanya lagi, mungkin dia sudah jadi penghuni jalanan, atau terkapar mati karena kelaparan, who knows.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More