Friday, July 30, 2010

ROSMITA, TEMAN KECILKU TAPI BUKAN CINTA PERTAMAKU

Rosmita nama teman kecilku dulu, sekitar tahun 70-an hingga awal 80-an. Kami berteman akrab sejak belum sekolah, masih balita, hingga masuk sekolah dasar kelas lima. Rosmita tetangga depan rumahku di Jalan Selamat Medan, daerah Simpang Limun. Aku kenal baik dengan ibu dan kakak-kakaknya. Bahkan sangking akrabnya aku dengan Rosmita, keluarganya menganggap aku sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Ibunya pun sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Sampai-sampai aku lupa sama rumah dan keluargaku.

Rosmita anak bungsu dari tujuh bersaudara. Mereka dulunya sangat makmur dan kaya, apalagi saat papa mereka masih hidup. Di daerah itu, merekalah yang pertama kali punya mobil dan televisi berwarna. Sepanjang tahun, setiap anak dari keluarga itu selalu merayakan pesta ulang tahun besar-besaran, banyak tamu yang diundang dan aku turut merayakannya, terutama mencicipi makanan-makanan yang disediakan.

Rosmita dan aku suka bermain berdua, mulai main tali karet, petak umpet,hingga masak-masakan. Kalau main masak-masakan, biasanya aku berperan jadi Bapaknya dan dia Ibunya. Kami juga sering mandi bareng, untung kala itu kami masih kecil, kalau sudah dewasa tak tahulah apa yang terjadi. Barangkali ada adegan mirip Ariel dan Luna di tahun 70-an, hehehehe. Kalau makan pun kami suka sepiring berdua. Benar-benar tak bisa dilepaskan. Kami juga suka diledek sama teman-teman dan kakak-kakaknya Rosmita, kalau kami itu pacaran. Pacaran? Yang benar saja, wong kami masih balita. Tapi ledekan itu buat kami tersipu-sipu dan malu, selanjutnya cuek, namanya juga anak-anak. Bahkan, kami juga suka main dokter-dokteran, mengenal anggota tubuh masing-masing. Pernah suatu kali kami disuruh berciuman oleh salah seorang teman laki-laki kakaknya Rosmita. Adegan itu benar-benar buat heboh meski kami berdua tak merasakan apa-apa. Abangku yang tahu masalah itu langsung mengadu pada Emak, tapi Emakku tak bertindak apa-apa, mungkin beliau berpikir kalau kami itu masih anak-anak. Beliau cuma berkata, "Jangan mau disuruh gituan lagi, ya."

Setelah kelas lima, pertemananku dengan Rosmita mulai renggang dan tak semanis dan seakrab dulu. Bahkan kini, aku tak pernah mendengar kabar beritanya. Entah kenapa, terkadang saat mengingat masa kecil, ingatanku pasti tertuju pada Rosmita. Anehnya, saat duduk di bangku SMP, dan masuk masa pubertas, aku tak merasakan sensasi cinta pada Rosmita. Aku hanya merasa dia itu seperti saudara kandungku sendiri. Apa karena aku belum mengenal cinta ya?

Papanya Rosmita seorang keturunan Belanda, blasteran. Orang-orang sekitar memanggilnya Tuan Nindo (artinya setengah Indonesia). Keluarganya masih banyak berada di Belanda. Tuan Nindo menikahi ibunya Rosmita yang janda. Dari hasil perkawinan Tuan Nindo dan Ibunya Rosmita itu lahirlah Rosmita dan Kakaknya. Sedang saudara-saudara Rosmita yang lain berasal dari suami pertama Ibunya Rosmita. Ibunya Rosmita menurut gossip-gossip yang kudengar kala itu adalah pembantunya keluarga Tuan Nindo. Tuan Nindo jatuh cinta pada pembantunya itu meski sudah janda dan beranak lima. Memang terbukti ya kalau cinta bisa mengalahkan segalanya, dan cinta itu memang buta. Padahal, Tuan Nindo bisa mendapatkan perawan yang lebih baik dan cantik. Itulah cinta, mau diapain lagi.

Saat kematian Tuan Nindo, Rosmita dan Kakaknya mau dibawa ke Belanda oleh keluarganya Tuan Nindo yang tinggal di sana. Namun ibunya Rosmita tak mengizinkan. Barangkali kalau diizinkan, aku tak bakal kenal dengan Rosmita. Sudah takdir memang. Akhirnya Rosmita dan kakaknya tinggal bersama ibu dan saudara-saudara tirinya. Tuan Nindo banyak meninggalkan harta untuk ibunya Rosmita. Dan itu membuat keluarga Rosmita jadi lupa diri, mereka lebih suka foya-foya. Ibunya tak mencari usaha lain, tidak bekerja juga. Semua harta peninggalan digunakan untuk hal tak berguna. Mulai dari merayakan pesta ulang tahun, belanja baju mahal dan bagus, hingga buat pacaran. Bahkan pernah suatu kali, pacar ibunya mejadi pacar anaknya, keluarga yang unik memang. Mereka kurang mementingkan pendidikan. Akhirnya untuk menutupi gaya hidup mereka, ibunya Rosmita pun hutang sana sini. Hutang pada rentenir dengan bunga yang gila-gilaan. Tragisnya, untuk menutupi semua hutang, tanah, kebun, dan rumah pun dijual. Rosmita pun pindah rumah, di pinggiran kota Medan, dan hidup sengsara. Sejak itulah aku tak pernah lagi ketemu Rosmita.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More