Sabtu kemarin (27/02/10), pas libur long weekend, aku berhasrat naik kereta listrik (KRL) ke Mangga Dua, gak jauh dari stasiun Kota, Jakarta. Dah lama gak naik angkutan massal ini, ada rasa kerinduan ngeliat pedagang asongan, pengamen di atas kereta, hidup ini jadi lebih berwarna, dan langsung mensyukuri hidup dengan apa yang dirasakan sekarang, meski tetap carut marut.
Keberangkatan ke tempat tujuan lancar-lancar aja, naik kereta ekonomi AC, meski bukan AC tapi kipas angin, but it's okay-lah, namanya juga masih di Indonesia, segala sesuatunya masih penuh kamuflase. Di tiket tertera KRL Ekonomi AC, pas di dalam cuma disuguhi ama kipas angin, baaah ... parah kali.
Di dalam kereta tak begitu padat penumpang, namun tetap tak kebagian tempat duduk, berdirilah aku hingga sampai tujuan. Turun di stasiun Jayakarta, lanjut jalan kaki hingga Mangga Dua, tak begitu jauhlah, sekitar lebih kurang 500 meteran, itung-itung olahraga buat ngecilin perut yang makin membuncit.
Selesai window shopping di Mangga Dua, skitar jam 4-an sore, pulang balik ke Depok. Kenderaan yang dipakai masih tetap sama, KRL Ekonomi. Tadinya pengen naik KRL Ekonomi AC lagi, tapi harus nunggu sekitar 1 jam lebih, malas nunggu, pengen cepat sampai di rumah, aku pilih KRL Ekonomi, yang bener-bener ekonomi, cuma bayar 1500 perak. Kedatangan KRL ini selalu nggak on time skedul, lama juga nunggunya sekitar setengah jam, akhirnya kereta yang ditunggu pun datang. Penumpang belum begitu padat, gerbong masih lega, namun tetap tak kebagian kursi. Keadaan ini tak berlangsung lama, ketika sampai di stasiun Mangga Besar, Sawah Besar, Djuanda, Gondangdia, Cikini, hingga Manggarai, penumpang makin padat, tubuhku makin terjepit.
Puncaknya, ketika penumpang dari stasiun Tebet, Cawang, Kalibata, dan Pasar Minggu naik, kaki sudah tak bisa jejak di lantai, tubuh makin terjepit, panas, hingga hampir kehilangan keseimbangan. Kondisi ini terus berlangsung hingga sampai stasiun Pondok Cina, tempat pemberhentianku terakhir. Susah mau keluar, harus berjuang melawan arus penumpang yang masuk dari stasiun Pondok Cina. Akhirnya, bisa juga keluar meski kepala jadi pusing, untung aja gak pingsan, karena mata dah berkunang-kunang.
Begitulah perjuangan hampir semua para komuter yang bekerja di Jakarta, mereka berangkat dari pinggiran kota Jakarta, naik KRL yang jauh dari kepantasan, menuju pusat Jakarta. Mereka berjejal di dalam kereta, berhimpit-himpitan, hingga bau mereka bercampur jadi satu. Keadaan ini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan transportasi massal itu. Jadi, rasanya percuma punya menteri perhubungan jika kondisi yang sama terus dialami warga.
Sarana transportasi yang manusiawi masih jauh dari kenyataan. Aku yang baru ngalamin sehari saja sudah kapok, gimana kalau setiap hari ya, bisa gepeng nih badan. Untungnya, dalam satu gerbong kemarin ada para bencong pengamen, ada mereka jadi terhibur, rasa kesal di hati jadi terobati. Mendengar kelatahan mereka buat aku tertawa geli dalam hati. "Aduh, jangan didorong-dorong dong, tetek akika bisa pecah ni sebelah." celetuk salah satu dari mereka, cikikikikikik.
0 comments:
Post a Comment