Friday, May 21, 2010

AIR MATA MBAK SRI

Dalam blog ini, sudah kali kedua aku menulis tentang Mbak Sri, panggilan akrabku untuk Ibu Sri Mulyani Indrawati. Panggilan akrab itu bukan berarti aku kenal baik dengan beliau, itu cuma keakraban imajiner semata yang kutuangkan dalam pikiranku. Bukan berarti juga aku number one fan-nya, atau pendukung segala kebijakannya, hanya sisi kemanusiaan yang membuat aku tertarik sama Mbak Sri.


Seperti yang pernah kutulis dalam tulisan terdahulu, aku mengenal Mbak Sri cuma dari media yang gencar memberitakannya dan lewat tulisan-tulisan Mbak Sri di beberapa media cetak yang sempat kubaca, cuma itu, tak lebih dan tak kurang. Kenapa aku tergerak kembali untuk menulis tentangnya? Ini dia penyebabnya:

Tadi pagi sebelum berangkat kerja, aku sempat melihat cuplikan pidato perpisahan Mbak Sri di Indosiar. Pidato perpisahan yang cukup mengharukan di lingkungan Departemen Keuangan, sekaligus serah terima jabatan menteri keuangan dari Mbak Sri kepada Bapak Agus Martowardojo. Ada beberapa pejabat menteri yang juga turut hadir dalam acara tersebut. Dalam pidatonya, Mbak Sri menitikkan air mata, hingga sempat terbata-bata, dan menghentikan pidatonya untuk beberapa saat demi menahan tangisannya yang hampir jatuh. Para hadirin pun memberi support dengan tepukan tangan agar Mbak Sri tetap semangat dan tegar. Untuk mencairkan suasana yang hampir mengharu biru itu, Mbak Sri melempar sebuah guyonan sambil melirik Pak Agus, menteri keuangan yang baru, katanya, "Karena bukan menteri keuangan saya sekarang boleh menangis. Kepada Pak Agus jangan menangis nanti rupiah terguncang."

Tangisan Mbak Sri memang tak biasa, karena selama dioprek-oprek masalah bailout Century, Mbak Sri cukup tegar dan tangguh menghadapinya. Tapi aku yakin, tangisan Mbak Sri itu sebagai tanda kecintaan beliau terhadap bangsa dan negara, yang harus ia tinggalkan sebelum masa tugasnya berakhir. Air mata Mbak Sri juga sebagai pertanda bahwa beliau telah berhasil dan menang karena tidak mengkhianati kebenaran, tidak mengingkari nurani, dan sedih karena harus meninggalkan teman-teman dan kerabat yang mendukungnya selama ini.

Tapi sudahlah, pertarungan Mbak Sri dengan para politisi akan segera berakhir. Menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia lebih menarik ketimbang menjadi menteri keuangan yang tak dikehendaki dan selalu dipersalahkan. Dan aku mendukung keputusan si Mbak tersebut. Untuk apa menjadi pejabat publik di lingkungan orang-orang yang penuh subjektivitas dan prasangka, yang segala sesuatunya selalu ditelaah dari sudut pandang aku bukan mereka atau orang lain, yang selalu menganggap diri mereka benar, dan tak pernah melihat darimana akar permasalahan itu berasal, apalagi kalau objektivitas menjadi barang langka di lingkungan tersebut. Rasanya percuma kalau jabatan itu terus dipertahankan. Meski banyak yang menudingnya sebagai upaya melarikan diri dari kenyataan. Atau lebih tepatnya melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai pejabat publik, namun Mbak Sri tetap mendapat pengakuan yang lebih objektif, rasional, dan terhormat di luar sana. Anjing menggonggong kafilah pun berlalu.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More