Friday, May 7, 2010

BEKERJA DENGAN NURANI*

Di harian Kompas, Minggu 9 Juli 2000 halaman 2, Wimar Witoelar pernah menulis di rubrik "Asal Usul" kisah tentang seorang supir taksi bernama "Bob" di kota Melbourne-Australia. Dikisahkan, Bob seorang supir taksi yang benar-benar profesional. Dia menjalankan pekerjaannya dengan tanggung jawab penuh. Meski profesi tersebut dianggap sederhana namun cukup penting bagi sebagian besar orang yang menggunakan jasa Bob.

Sebagai supir taksi, Bob sangat senang menjaga keselamatan penumpangnya, termasuk menjaga barang yang dibawa oleh penumpangnya. Bahkan ia tak segan-segan membantu penumpangnya yang ketinggalan koper untuk mengambilnya kembali dan mengantarnya ke sang penumpang di bandara. Untuk jasa ini, Bob bersedia dibayar cuma AUD10 (sepuluh dollar Australia), padahal ongkos taksi untuk perjalanan tambahan dari bandara ke tempat asal dan kembali lagi ke bandara tersebut bisa bernilai AUD45. Tapi Bob tetap melakukannya dengan senang hati. Maka tak heran kalau Bob mendapat penghargaan sebagai pengemudi taksi terbaik tahunan atau "Taxi Driver of the Year" berkat tanggung jawab dan keprofesionalannnya.

Bob, seperti yang dikisahkan Wimar tersebut, telah bekerja dengan nuraninya. Meski seorang supir taksi, Bob bertanggung jawab terhadap profesinya, ia juga disiplin dan jujur. Ini dibuktikan oleh Bob sendiri, ia rela menolong penumpangnya yang mengalami kesulitan, ia tak mau dibayar lebih tinggi untuk ekstra tenaga yang dikeluarkannya. Hal ini berbanding terbalik dengan yang kita alami di sini, kita selalu meminta imbalan untuk hal-hal yang sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab kita. Imbalan itu bisa berbagai wujud atau bentuk, mulai dari bentuk pujian, penghargaan, pangkat hingga uang. Di antara bentuk-bentuk imbalan tersebut, uanglah yang selalu menjadi primadona dan dipilih orang. Bila kita bekerja demi imbalan maka kita takkan pernah dapat bekerja dengan nurani.


Mengapa nurani? Karena, nurani adalah inti dari manusia yang memiliki kepedulian, kegigihan untuk berbuat. Nurani tidak pernah berdusta. Nurani adalah sumber kejernihan berpikir, sumber kekuatan beramal. Nurani merupakan karunia Allah yang sangat besar bagi manusia. Orang-orang yang bekerja dengan nuraninya akan berhasil mengenali dirinya sehingga akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Jika hal ini terjadi pada diri manusia maka ia akan memiliki kekayaan termahal dalam hidup ini, karena berhasil mengenal diri dan Tuhannya. Hal ini berarti juga, nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian.

Nurani sangat mengharamkan imbalan, kalimat ini bisa kita analogikan dalam konteks berikut. Seorang bapak ataupun ibu rela bekerja siang dan malam demi anak-anaknya, mereka tak ingin anak-anaknya hidup susah ataupun mati kelaparan, mereka bekerja dengan nurani sehingga mereka tak meminta imbalan pada anak-anaknya atas pengorbanan yang telah mereka lakukan tersebut, meskipun kelak anak-anaknya berhasil dalam status dan peran sosialnya dalam masyarakat.

Bekerja dengan nurani perlu kita galakkan untuk Indonesia merdeka. Kalau kita bekerja dengan nurani mustahil kita menemukan korupsi di negeri ini, apalagi wakil rakyat yang merengek-rengek minta fasilitas dan tunjangan. Bahkan kita takkan pernah menemukan birokrasi yang berbelit dan cuma mengandalkan uang untuk mempercepat suatu urusan. Jika kita bekerja dengan nurani, semua pekerjaan akan dijalankan dengan standar dan ketentuan yang sudah ditetapkan dan diatur. Sayangnya, kondisi ini sangat sulit terwujud, nurani manusia telah dikotori oleh nafsu, nafsu ingin memiliki sesuatu, nafsu berkuasa, dan nafsu-nafsu lainnya, yang membuat manusia itu jauh dari nuraninya.

Menurut Jean Jacques Rousseau nurani dapat diibaratkan sebagai suara jiwa, sedang nafsu-nafsu diibaratkan sebagai suara tubuh, keduanya kerap kali bertentangan dan tak pernah akur antara satu dengan yang lain. Pertentangan ini dapat diilustrasikan seperti berikut, nurani seorang koruptor tahu kalau perbuatan yang ia lakukan itu salah dan berdosa, tapi suara tubuhnya berkata lain, "Jika kamu tidak korupsi maka kamu akan mati kelaparan dan membuatmu tetap miskin, bukankah kekayaan dapat membuatmu hidup enak, terpandang, dan dihormati orang. Kamu juga jangan khawatir dan takut akan dosa, karena hasil korupsi itu dapat kamu bagikan untuk orang-orang miskin dan membangun tempat-tempat ibadah, bukankah itu salah satu cara pencucian dosa. Dan Tuhan juga akan memahami perbuatanmu sepanjang kamu tetap berbuat baik."

Ilustrasi itu menunjukkan bahwa suara-suara tubuh telah berkamuflase dengan suara jiwa, berbaur menjadi satu, seolah-olah itu adalah suara jiwa (nurani) mereka. Jadi, tak heran kalau sebagian besar para pendosa menganggap kalau perbuatan dosa yang mereka lakukan itu merupakan suara jiwa-(nurani)-nya, yang dapat dimaafkan. Konsep inilah yang dipakai oleh para koruptor untuk membenarkan perbuatan mereka, sehingga korupsi tetap menjadi lahan subur di berbagai aspek kehidupan kita.

Bekerja dengan nurani dalam konteks yang benar adalah bekerja dengan penuh disiplin, tanggung jawab, bermoral, jujur, tenggang rasa, dan dekat dengan Tuhan. Bila hal ini terwujud maka kita akan menemukan banyak "Bob" di sekitar kita.

Depok, 04 Juli 2007

* Tulisan ini tak dimuat di KOMPAS dengan alasan "Kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda."

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More