Wednesday, May 12, 2010

MACHIAVELLI DAN TEORI IMAJINASI RAKYAT

Machiavelli dapat dianggap sebagai simbol kediktatoran karena cenderung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Ia juga membenarkan sistem pemerintahan yang dijalankan penguasa bertangan besi, bahkan menolak pertimbangan moral dalam hal politik praktis.


Oleh karena itu, tak heran jika para Machiavellisme, terutama para penguasa yang menjalankan prinsip Machiavelli ini dianggap sebagai sosok yang membenarkan dusta, penipuan, penindasan, dan pembunuhan, termasuk pengingkaran sejarah asal stabilisasi kekuasaannya mantap dan tak tergoyahkan. Menurut Machiavelli, penguasa yang menjalankan aturan-aturan konvensional seperti petunjuk-petunjuk moral (agama) yang menekan justru akan menghancurkan kekuasaannya.

Semua konsep tentang kekuasaan itu ia tuangkan dalam buku yang berjudul "The Prince" atau sang pangeran. Buku ini ditulis Machiavelli tahun 1513. Buku ini dianggap sebagai buku suci bagi penguasa diktator karena berisi banyak nasihat atau kiat-kiat bagi seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam buku itu Machiavelli menganjurkan seorang penguasa untuk mengabaikan pertimbangan moral secara total dan mengandalkan kekuatan dan kelicikan, termasuk mengandalkan kekuatan militer yang dipersenjatai dengan baik. Seorang penguasa juga harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mampu dan setia, serta menjauhkan diri dari penjilat untuk mencapai kesuksesannya.

Dalam buku tersebut Machiavelli juga mengajukan dua opsi perbincangan, apakah seorang penguasa itu lebih baik dicintai atau dibenci/ditakuti. Menurutnya penguasa sebaiknya ditakuti dan dicintai, tapi kedua opsi ini tak bisa disandang sekaligus, lebih aman bagi seorang penguasa adalah ditakuti, karena bila dia memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan demi rakyat yang mencintainya.

Dalam sejarah dunia, ada begitu banyak penguasa yang mengikuti nasihat-nasihat Machiavelli ini. Napoleon, Stalin, Hitler, Benito Mussolini, hingga Marcos merupakan tokoh-tokoh yang mengambil langkah radikal dalam kepemimpinannya. Mereka sepertinya menjiplak habis tips-tips yang diberikan Machiavelli untuk bertahan dalam tampuk kekuasaannya. Mereka diktator ulung pada masanya. Mussolini memuji-muji Machievalli di depan umum sebagai tokoh inspirator. Bahkan Napoleon menyelipkan "The Prince" di bawah bantalnya agar bisa membacanya berulang-ulang.

Contoh dramatis yang mengadaptasi pemikiran Machiavelli adalah Adolf Hitler. Hitler menggunakan kekuatan militer untuk mendukung aksi brutalnya demi menguasai Eropa hingga dunia, karena kekuatan militer dianggap sumber kekuatan untuk mempertahankan status quo. Pembersihan etnis Yahudi merupakan taktik Hitler untuk menarik simpati bangsa Arya, yang dianggap sebagai keturunan murni bangsa Eropa, apalagi pada masa itu Yahudi terkenal lebih dominan dalam bidang perekonomian terutama di Jerman dan daratan Eropa lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat yang mengaku keturunan asli Eropa tersebut.

Taktik Hitler ini oleh Machiavelli disebut sebagai penguasaan imajinasi orang banyak (baca: rakyat), yaitu salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan dan menarik simpati masyarakat meski harus mengorbankan masyarakat lainnya. Hitler memanfaatkan apa yang menjadi imajinasi atau impian dari sebagian besar masyarakat Jerman yang tak suka dengan dominasi etnis Yahudi dalam bidang perekonomian. Mereka mengandaikan Jerman yang damai dan maju tanpa dominasi Yahudi dalam berbagai bidang. Yahudi dianggap sebagai penghalang bagi kemajuan keturunan asli Jerman. Hitler memanfaatkan peluang ini untuk meraih popularitas demi kekuasaannya.

Menguasai imajinasi orang banyak ini sebenarnya memiliki interpretasi yang beragam, tergantung penerapan di lapangan dan efektifitasnya. Contoh kepemimpinan nasional yang mengadaptasi teori imajinasi rakyat ini adalah Soeharto. Pada awal kepemimpinannya, Soeharto membubarkan PKI dan menurunkan harga-harga barang yang membubung tinggi untuk menarik dukungan rakyat dan meraih simpati dari para mahasiswa. Pada masa itu perekonomian benar-benar di ambang kehancuran dengan angka inflasi yang meroket. Harga-harga barang kebutuhan pokok menjadi mahal dan sulit dijangkau. Rakyat mengimpikan harga barang yang murah dan terjangkau, sedang dari kaum politisi dan mahasiswa, membubarkan pemerintahan Soekarno yang gagal dan meluluhlantakkan PKI sebagai biang kerok instabilitas politik merupakan kenyataan yang ditunggu-tunggu.

Imajinasi orang banyak tentang negara yang ideal berhasil dikuasai Soeharto untuk mencapai kekuasaannya. Keadaan ini terus dipertahankan, pada masa pemerintahan Soeharto stabilitas harga barang terjaga, BBM stabil dengan harga jual di bawah standar internasional, berbagai subsidi pun dikucurkan meski hutang di sana-sini. Pokoknya rakyat benar-benar menikmati sistem perekonomian ala Soeharto itu. Stabilitas politik demikian juga, seluruh lawan politik yang dianggap ancaman dibungkam hingga ke akar-akarnya. Soeharto mengandalkan kekuatan militer untuk mendukung kekuasaannya. Soeharto berhasil menciptakan dirinya sebagai sosok yang dicintai rakyat dan ditakuti/dibenci lawan-lawan politiknya. Berkat penguasaan imajinasi rakyat, Soeharto berhasil menjaga pucuk pimpinannya selama 32 tahun.

Pasca Soeharto, teori imajinasi rakyat masih diterapkan dalam sistem perpolitikan kita, terutama oleh para politikus yang ingin meraih kepemimpinan nasional maupun menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif. Lihat saja, saat kampanye pemilu berlangsung, para politikus tersebut banyak mengumbar janji di setiap kampanyenya. Semua janji itu melambungkan angan atau imajinasi rakyat tentang negara yang ideal dan kehidupan yang serba mengenakkan, seperti pendidikan gratis, harga barang kebutuhan pokok yang murah, pemberantasan korupsi, supremasi hukum, hingga sistem pembangunan dan kebijakan yang berpihak pada wong cilik. Nyatanya semua itu cuma isapan jempol belaka ketika mereka telah berkuasa atau duduk di kursi wakil rakyat.

Sadar atau tidak, kita sudah menerapkan teori imajinasi rakyat. Meski mereka tidak pernah membaca buku "The Prince" karya Machiavelli, namun mereka berhasil memanfaatkan teori tersebut demi kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya. Teori imajinasi rakyat akan terus berkembang seiring dengan hasrat manusia untuk meraih kekuasaan dan popularitas meski harus mengibuli rakyat. (Depok, 03 April 2006, penulis: ABDI HUSAIRI NASUTION)

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More