Inda itu temanku, hari Sabtu kemarin tulisannya dimuat di harian Kompas. Dalam tulisannya itu, ia mencoba memaknai hubungan yang ideal antara buruh dan pemilik modal. Tulisan itu berkaitan juga dengan hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei kemarin, atau May Day. Opininya menurutku cukup oke, bagus. Namun dalam tulisanku ini, aku tak hendak mau cerita tentang tulisan si Inda itu, karena aku yakin tulisannya itu pasti bermutu, kalau enggak bermutu pasti enggak bakalan dimuat di harian terkemuka itu, halaman enam lagi tulisan itu dimuat. Paling enggak mutu tulisannya itu bisa disejajarkan dengan penulis-penulis hebat dan terkenal lainnya, menurutku lho, enggak tahu kalau menurut Anda sekalian.
Inda yang kukenal hanya seorang teman yang sederhana, tak memikirkan fashion, apalagi gaya hidup yang tinggi. Namun, konsep pemikirannya yang buat aku lumayan salut, terutama pengetahuan filsafatnya. Dan aku yakin, pengetahuannya itu ia peroleh dari hasil kesukaannya membaca dan sempat kursus di STF DRIYARKARA. Inda juga tak punya sekolah yang tinggi, tak pula bergelar S1, S2, atau bahkan S3 (mungkin suatu saat nanti). Namun perjuangannya untuk mencapai ke arah dan bentuk pemikirannya sekarang yang patut dijadikan pelajaran.
Inda itu berasal dari keluarga yang cukup sederhana, meski kasar kalau aku sebut keluarga miskin (dia ngakunya seperti itu juga sih). Tinggal di daerah Pangandaran dengan seorang adik laki-laki dan kedua orangtuanya. Keinginan untuk maju dan mengubah nasib sudah ada di benaknya sejak ia remaja (mungkin juga sejak ia masih kecil). Tatkala kesempatan itu ada, ia kabur ke Jakarta eh maksudnya merantau ke Jakarta. Kalau kata kabur kesannya seperti ia melarikan diri dari keluarganya, padahal sih memang iya, kalau enggak nekad begitu, pasti si Inda tetap jadi anak kampung di daerah nelayan, yang enggak tahu apa-apa.
Modal si Inda cuma kenekadan, karena ia tak membawa apa-apa, apalagi uang yang cukup. Sesampai di Jakarta, Inda bekerja serabutan, dari menjadi pedagang asongan, bekerja sebagai buruh, dan sebagainya, pokoknya halal. Bahkan si Inda sempat menggelandang, tidur di Istiqlal bersama para tuna wisma lainnya. Namun tekad untuk maju tak pernah pupus dari otaknya. Bertahun-tahun ia berjuang di Jakarta, akhirnya membuahkan hasil. Rupiah demi rupiah yang ia kumpulkan bisa juga membiayai kuliahnya di Trisakti, jurusan desain grafis. Selesai ngampus di Trisakti, Inda pun percaya diri untuk ngelamar ke berbagai perusahaan yang membutuhkan keahliannya.
Dan akhirnya, dia diterima di sebuah penerbitan buku pelajaran yang cukup terkenal. Di tempat kerjanya itu, Inda bersama teman-temannya membentuk serikat pekerja, hingga menjadikannya sebagai ketua serikat pekerja di perusahaan tersebut. Selama kepemimpinannya, konflik antara pekerja dengan perusahaan bisa dikatakan tidak ada, karena Inda lebih mengutamakan konsep win-win solution bila terdapat perbedaan pendapat antara perusahaan dan pekerja. Itulah Inda, meski suka nyeleneh tapi dia tetap serius untuk hal-hal yang dianggap penting dan perlu. Saat ini Inda menjabat sebagai Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Semoga semangatnya untuk maju tak pernah lekang oleh waktu.
Inda yang kukenal hanya seorang teman yang sederhana, tak memikirkan fashion, apalagi gaya hidup yang tinggi. Namun, konsep pemikirannya yang buat aku lumayan salut, terutama pengetahuan filsafatnya. Dan aku yakin, pengetahuannya itu ia peroleh dari hasil kesukaannya membaca dan sempat kursus di STF DRIYARKARA. Inda juga tak punya sekolah yang tinggi, tak pula bergelar S1, S2, atau bahkan S3 (mungkin suatu saat nanti). Namun perjuangannya untuk mencapai ke arah dan bentuk pemikirannya sekarang yang patut dijadikan pelajaran.
Inda itu berasal dari keluarga yang cukup sederhana, meski kasar kalau aku sebut keluarga miskin (dia ngakunya seperti itu juga sih). Tinggal di daerah Pangandaran dengan seorang adik laki-laki dan kedua orangtuanya. Keinginan untuk maju dan mengubah nasib sudah ada di benaknya sejak ia remaja (mungkin juga sejak ia masih kecil). Tatkala kesempatan itu ada, ia kabur ke Jakarta eh maksudnya merantau ke Jakarta. Kalau kata kabur kesannya seperti ia melarikan diri dari keluarganya, padahal sih memang iya, kalau enggak nekad begitu, pasti si Inda tetap jadi anak kampung di daerah nelayan, yang enggak tahu apa-apa.
Modal si Inda cuma kenekadan, karena ia tak membawa apa-apa, apalagi uang yang cukup. Sesampai di Jakarta, Inda bekerja serabutan, dari menjadi pedagang asongan, bekerja sebagai buruh, dan sebagainya, pokoknya halal. Bahkan si Inda sempat menggelandang, tidur di Istiqlal bersama para tuna wisma lainnya. Namun tekad untuk maju tak pernah pupus dari otaknya. Bertahun-tahun ia berjuang di Jakarta, akhirnya membuahkan hasil. Rupiah demi rupiah yang ia kumpulkan bisa juga membiayai kuliahnya di Trisakti, jurusan desain grafis. Selesai ngampus di Trisakti, Inda pun percaya diri untuk ngelamar ke berbagai perusahaan yang membutuhkan keahliannya.
Dan akhirnya, dia diterima di sebuah penerbitan buku pelajaran yang cukup terkenal. Di tempat kerjanya itu, Inda bersama teman-temannya membentuk serikat pekerja, hingga menjadikannya sebagai ketua serikat pekerja di perusahaan tersebut. Selama kepemimpinannya, konflik antara pekerja dengan perusahaan bisa dikatakan tidak ada, karena Inda lebih mengutamakan konsep win-win solution bila terdapat perbedaan pendapat antara perusahaan dan pekerja. Itulah Inda, meski suka nyeleneh tapi dia tetap serius untuk hal-hal yang dianggap penting dan perlu. Saat ini Inda menjabat sebagai Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Semoga semangatnya untuk maju tak pernah lekang oleh waktu.
0 comments:
Post a Comment