Bapakku bukan binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Sepenggal kata-kata di atas merupakan plesetan dari puisi karya Chairil Anwar yang berjudul "Aku". Bukan maksud ingin merusak makna puisi yang terkenal ke seantero Nusantara itu, tapi hanya sekadar menggambarkan dan menegaskan bahwa Bapakku bukanlah binatang jalang dalam arti sebenarnya.
Terus terang, aku tak begitu dekat dengan Bapak. Bapak punya sifat yang kaku terhadap anak-anaknya, dan tak bisa romantis pada Emakku. Itulah Bapakku, namun dalam hidup dia selalu jujur, termasuk jujur pada pembeli yang menjadi pelanggan usaha dagang beliau. Dahulu, sekitar awal tahun 70-an, saat abang-abang dan kakakku masih kecil, usaha dagang kelontong (barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari) yang dijalankan Bapak sangatlah maju.
Bapak punya toko kelontong di daerah pusat Kota Medan, dekat dengan terminal Sambu, dan pajak sentral (orang Medan menyebut pasar dengan nama pajak). Tokonya kata Emakku cukup besar dan banyak pembelinya. Namun, pas pertengahan tahun 70-an, abangku yang paling besar harus menjalankan serangkaian operasi untuk memperbaiki saluran urine di batang zakarnya agar normal kembali. Kelainan ini sudah diderita abang sejak lahir. Dan biaya operasi buat abang cukup mahal kala itu, kalau dikurskan dengan nilai nominal sekarang bisa mencapai 100 juta. Mau tak mau, Bapak pun harus menjual toko kelontongnya untuk menambah biaya operasi abang yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Toko terjual, Bapak pun mulai membuka usaha yang sama, namun kali ini dibuka di rumah. Kamar paling depan yang menghadap jalan raya dikorbankan dan dijadikan toko kecil buat melanjutkan usaha Bapak kembali.Usaha ini pun lumayan sukses meski akhirnya habis juga. Banyak faktor yang mendorong usaha Bapak naik-turun, selain banyaknya pesaing di dekat rumah, biaya hidup dan sekolah kami sebagai anak-anaknya pun mulai besar. Seringkali modal pokok toko itu terpakai buat biaya hidup dan sekolah. Akhirnya, isi toko itu tak seramai dulu lagi. Biasanya, berkarung-karung beras selalu menumpuk di toko itu, namun lambat laun menjadi tinggal satu karung. Demikian pula dengan barang-barang lainnya tak sebanyak dulu lagi. Orang-orang pun malas belanja ke toko Bapak, karena banyak barang yang mereka butuhkan tak lagi ada di toko Bapak. Akhirnya mereka pun beralih ke toko tetangga yang lebih besar dan lengkap. Toko Bapak pun seakan hidup segan, mati tak mau. Untuk beralih ke usaha lain Bapak tak punya kepandaian. Bapak hanya lulusan SR (sekolah Rakyat) yang setara dengan SD sekarang.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Emakku pun turut membantu mencari nafkah. Sama seperti nenekku, Emakku pintar bergaul, luwes sama semua orang, pintar memikat hati orang, dan sangat cerdas. Emakku pun berdagang mengikuti jejak nenek. Emak berdagang apa saja, mulai dari kain, baju, barang-barang elektronik, perabotan rumah tangga, hingga perhiasan emas dan berlian. Keuntungan dari berdagang itu digunakan untuk biaya sehari-hari dan biaya sekolah. Untungnya, kami, anak-anaknya, bersekolah di negeri semua, kecuali abangku yang nomor empat. Sekolah negeri tak semahal dulu, benar-benar murah. Tak seperti sekarang, untuk masuk SD Negeri berstandar nasional saja harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Apalagi kalau sekolah negeri yang berstandar internasional pasti lebih mahal lagi. Untungnya, sekolah-sekolah negeri di tahun 80 hingga 90-an tak semahal sekarang. Emakku pun tak perlu repot memikirkan biaya sekolah anak-anaknya. Andai masa itu seperti sekarang, semua harga kebutuhan pokok dan biaya sekolah mahal pasti Emakku menjerit. Jadi, tak heranlah kalau Emakku sangat mengidolakan Soeharto. Meski korupsinya banyak, namun harga-harga di pasaran masih murah, demikian alasannya.
Bantuan Emak dalam mencari nafkah membuat Bapakku sangat terbantu. Namun jeleknya, Bapak jadi tergantung sama pencarian Emak. Bapak jadi malas berpikir dan berusaha, alasannya dia tak bisa usaha apa-apa kecuali berdagang. Sedang untuk menjalankan usaha dagangnya kembali dibutuhkan modal tak sedikit. Menjelang akhir tahun 90-an, toko Bapak pun tutup. Bapak pun hanya duduk-duduk dan menunggui rumah. Beliau juga kurang suka bergaul, kebalikan dari sifat Emakku. Hal inilah yang membuat keluarga dari pihak Emak menyepelekan Bapak. Bapak dituding tak bertanggung jawab sama keluarganya, membiarkan Emak mencari Nafkah sendiri. Bahkan aku pun turut membenci Bapak, dan menganggap beliau tak menyayangiku. Ternyata kebencian dan tuduhanku salah besar, saat hari wisudaku tahun 1997 Bapak menangis di depanku, dia memeluk dan menciumku. Dia minta maaf padaku karena tak bisa membiayaiku dengan maksimal, semua berkat perjuangan emakku. Itulah pertama kali kulihat Bapak menangis sebelum dia meninggalkanku selamanya dua tahun kemudian pas usia 66.
Dari kumpulan yang terbuang
Sepenggal kata-kata di atas merupakan plesetan dari puisi karya Chairil Anwar yang berjudul "Aku". Bukan maksud ingin merusak makna puisi yang terkenal ke seantero Nusantara itu, tapi hanya sekadar menggambarkan dan menegaskan bahwa Bapakku bukanlah binatang jalang dalam arti sebenarnya.
Terus terang, aku tak begitu dekat dengan Bapak. Bapak punya sifat yang kaku terhadap anak-anaknya, dan tak bisa romantis pada Emakku. Itulah Bapakku, namun dalam hidup dia selalu jujur, termasuk jujur pada pembeli yang menjadi pelanggan usaha dagang beliau. Dahulu, sekitar awal tahun 70-an, saat abang-abang dan kakakku masih kecil, usaha dagang kelontong (barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari) yang dijalankan Bapak sangatlah maju.
Bapak punya toko kelontong di daerah pusat Kota Medan, dekat dengan terminal Sambu, dan pajak sentral (orang Medan menyebut pasar dengan nama pajak). Tokonya kata Emakku cukup besar dan banyak pembelinya. Namun, pas pertengahan tahun 70-an, abangku yang paling besar harus menjalankan serangkaian operasi untuk memperbaiki saluran urine di batang zakarnya agar normal kembali. Kelainan ini sudah diderita abang sejak lahir. Dan biaya operasi buat abang cukup mahal kala itu, kalau dikurskan dengan nilai nominal sekarang bisa mencapai 100 juta. Mau tak mau, Bapak pun harus menjual toko kelontongnya untuk menambah biaya operasi abang yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Toko terjual, Bapak pun mulai membuka usaha yang sama, namun kali ini dibuka di rumah. Kamar paling depan yang menghadap jalan raya dikorbankan dan dijadikan toko kecil buat melanjutkan usaha Bapak kembali.Usaha ini pun lumayan sukses meski akhirnya habis juga. Banyak faktor yang mendorong usaha Bapak naik-turun, selain banyaknya pesaing di dekat rumah, biaya hidup dan sekolah kami sebagai anak-anaknya pun mulai besar. Seringkali modal pokok toko itu terpakai buat biaya hidup dan sekolah. Akhirnya, isi toko itu tak seramai dulu lagi. Biasanya, berkarung-karung beras selalu menumpuk di toko itu, namun lambat laun menjadi tinggal satu karung. Demikian pula dengan barang-barang lainnya tak sebanyak dulu lagi. Orang-orang pun malas belanja ke toko Bapak, karena banyak barang yang mereka butuhkan tak lagi ada di toko Bapak. Akhirnya mereka pun beralih ke toko tetangga yang lebih besar dan lengkap. Toko Bapak pun seakan hidup segan, mati tak mau. Untuk beralih ke usaha lain Bapak tak punya kepandaian. Bapak hanya lulusan SR (sekolah Rakyat) yang setara dengan SD sekarang.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Emakku pun turut membantu mencari nafkah. Sama seperti nenekku, Emakku pintar bergaul, luwes sama semua orang, pintar memikat hati orang, dan sangat cerdas. Emakku pun berdagang mengikuti jejak nenek. Emak berdagang apa saja, mulai dari kain, baju, barang-barang elektronik, perabotan rumah tangga, hingga perhiasan emas dan berlian. Keuntungan dari berdagang itu digunakan untuk biaya sehari-hari dan biaya sekolah. Untungnya, kami, anak-anaknya, bersekolah di negeri semua, kecuali abangku yang nomor empat. Sekolah negeri tak semahal dulu, benar-benar murah. Tak seperti sekarang, untuk masuk SD Negeri berstandar nasional saja harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Apalagi kalau sekolah negeri yang berstandar internasional pasti lebih mahal lagi. Untungnya, sekolah-sekolah negeri di tahun 80 hingga 90-an tak semahal sekarang. Emakku pun tak perlu repot memikirkan biaya sekolah anak-anaknya. Andai masa itu seperti sekarang, semua harga kebutuhan pokok dan biaya sekolah mahal pasti Emakku menjerit. Jadi, tak heranlah kalau Emakku sangat mengidolakan Soeharto. Meski korupsinya banyak, namun harga-harga di pasaran masih murah, demikian alasannya.
Bantuan Emak dalam mencari nafkah membuat Bapakku sangat terbantu. Namun jeleknya, Bapak jadi tergantung sama pencarian Emak. Bapak jadi malas berpikir dan berusaha, alasannya dia tak bisa usaha apa-apa kecuali berdagang. Sedang untuk menjalankan usaha dagangnya kembali dibutuhkan modal tak sedikit. Menjelang akhir tahun 90-an, toko Bapak pun tutup. Bapak pun hanya duduk-duduk dan menunggui rumah. Beliau juga kurang suka bergaul, kebalikan dari sifat Emakku. Hal inilah yang membuat keluarga dari pihak Emak menyepelekan Bapak. Bapak dituding tak bertanggung jawab sama keluarganya, membiarkan Emak mencari Nafkah sendiri. Bahkan aku pun turut membenci Bapak, dan menganggap beliau tak menyayangiku. Ternyata kebencian dan tuduhanku salah besar, saat hari wisudaku tahun 1997 Bapak menangis di depanku, dia memeluk dan menciumku. Dia minta maaf padaku karena tak bisa membiayaiku dengan maksimal, semua berkat perjuangan emakku. Itulah pertama kali kulihat Bapak menangis sebelum dia meninggalkanku selamanya dua tahun kemudian pas usia 66.
0 comments:
Post a Comment