Tanggal 25 November hari ini, hari guru. Para guru pantas dibuatkan hari khusus untuk mengingat jasa-jasa mereka. Jasa guru memang tak terbalas, tanpa mereka saya mungkin tak bisa menulis di Kompasiana, tak bisa baca, tak bisa berhitung, dan tak tahu apa-apa. Dari sekian banyak guru yang pernah mendidik saya cuma Pak Nasrun dan Bu Simanjuntak yang sangat membekas di hati saya, bukan karena mereka baik sama saya, atau bukan pula jahat sama saya. Dua guru itu saya anggap best is the best. Mereka benar-benar tipe guru yang menjalankan profesinya dengan sangat baik. Kalau Pak SBY buat polling tentang guru terbaik, pasti saya memilih keduanya. Kenapa saya begitu menaruh hormat sama kedua guru saya itu? Saya akan berbagi cerita tentang mereka.
Pak Nasrun, beliau guru saya di kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah ketika di Medan. Pak Nasrun pintar bercerita terutama kalau pelajaran Tarikh (Sejarah Islam). Banyak kisah-kisah nabi yang diceritakan olehnya, semua membekas di hati saya. Penuturannya baik dan buat saya terpingkal-pingkal kalau ada yang lucu dari kisah-kisah itu. Saat pelajaran Tajwid, Pak Nasrun sangat fasih melafalkan ayat-ayat Al-Quran. Saya dan teman-teman dia gembleng biar bisa baca Al-Quran dengan baik. Kadang buat saya stress juga. Bukan apa-apa, saya susah memahami ilmu Tajwid itu. Meski demikian Pak Nasrun tak pernah menyerah walau otak saya tetap bebal menerima pelajaran tersebut. Hasilnya memang tak seperti yang diharapkan, namun ilmu Tajwid yang diajarkan Pak Nasrun masih ada yang nempel di kepala sampai sekarang.
Pak Nasrun memang profesional, tugas guru benar-benar diabdikannya meski upah yang diterimanya tak banyak, cuma 15 ribu rupiah. Jangan kaget dulu, itu upah 30 tahun yang lalu meski saya tahu upah itu tak cukup buat menghidupi anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Seusai mengajar, Pak Nasrun banting stir jadi penjual roti keliling. Saya pernah beberapa kali memergokinya lewat di depan rumah saya. Roti itu dia jaja pakai sepeda onthelnya yang butut. Kalau ketemu saya, Pak Nasrun selalu mengembangkan senyumnya yang lebar, baris giginya yang rapi pasti terlihat. Pak Nasrun memang ganteng kayak orang Arab padahal dia bersuku Mandailing seperti ibu saya, marganya Lubis. Pak Nasrun hidup bersahaja, baju dan celananya buat mengajar saja jarang ganti namun tetap bersih. Saya sampai hapal model dan warnanya, kemeja bergaris tipis dan warna keputihan dengan celana berwarna gelap.
Setamat sekolah, saya tak pernah lagi bertemu Pak Nasrun, cuma waktu di SMP saya pernah ketemu karena rumahnya dekat dengan SMP saya, itupun tak sering. Sekarang, saya tak pernah mendengar kabar beritanya. Kata abang saya, Pak Nasrun sudah meninggal, tapi dia juga tak tahu pasti. Rumahnya pun sudah pindah. Ada atau sudah tiada, pahala Pak Nasrun akan terus berjalan sepanjang ilmu dan kebaikannya masih saya ingat dan terapkan. Adakah guru semacam Pak Nasrun sekarang?
Lain Pak Nasrun lain pula Bu Simanjuntak. Sampai sekarang saya tak tahu nama sebenar Bu Simanjuntak itu siapa, cuma marganya itu yang saya ingat, Simanjuntak. Bu Simanjuntak guru saya ketika di kelas 1 Sekolah Dasar. Saat di pendidikan dasar, saya memang bersekolah di dua jenis sekolah, sekolah umum dan madrasah. Pak Nasrun guru di madrasah ibtidaiyah sedang Bu Simanjuntak guru di sekolah dasar saya. Bu Simanjuntak memang galak, perawakannya gemuk, pendek, dan berkulit hitam. Rambut panjangnya selalu dia sanggul. Beliau jarang tersenyum, saya dan teman-teman tak ada yang berani ribut kalau di dalam kelas. Semua mata terpaku menatapnya kalau dia sudah memberikan pelajaran di depan kelas.
Bagi saya, Bu Simanjuntak sangat berjasa. Berkat dia, saya jadi bisa membaca. Bayangkan, ketika masuk SD saya tak mengenal huruf dan angka. Maklum saja, waktu itu saya tak pernah mengenyam pendidikan TK. Tapi itu tak masalah, baru tiga bulan di sekolah dasar, saya sudah bisa baca dan berhitung. Koran dan majalah pun sudah saya baca habis. Itu berkat Bu Simanjuntak. Banyak orang tua murid yang ingin anaknya diajar sama Bu Simanjuntak. Padahal, dia jarang tersenyum, ramah pun tidak, cuma kesan galak dan kejam yang ada dalam dirinya. Namun kemampuan dia mengajar buat semua orang lupa sama karakternya. Itulah Bu Simanjuntak, dialek Batak-nya masih kental kalau mengajar. Suaranya menggelegar, buat saya dan teman-teman gemetaran. Gara-gara itu, saya jadi terpacu untuk belajar membaca dan berhitung biar lekas bisa. Andai Bu Simanjuntak tak seperti itu, barangkali saya tak bisa baca dan berhitung untuk waktu yang lama.
Selesai sekolah dasar, saya tak tahu kabar berita tentang guru kelas satu saya itu. Bu Simanjuntak hilang ditelan Bumi, katanya sih beliau sudah tiada. Sayang, saya belum sempat memberi dia sesuatu, buat sekadar ucapan terima kasih. Meski saya tahu, jasa-jasanya tak bisa saya balas. Begitu pula dengan Pak Nasrun. Hari ini saya cuma bisa memberi ucapan selamat buat kedua guru saya itu, “Selamat Hari Guru ya Pak, Selamat Hari Guru ya BU”. Kalian berdua selalu ada di hati, GBU, God Bless You.
Tulisan ini sudah dimuat di blog Kompasiana: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/25/pak-nasrun-dan-bu-simanjuntak/
1 comments:
izin menggunakan gambarnya ya
salam pendidikan dari kalimantan tengah
Post a Comment