Monday, September 28, 2009

Being Joko Anwar

Tulisan ini terinspirasi dari judul film “Being John Malkovich”, film yang berkisah tentang Craig Schwart (John Cusack) dan Lotte Schwart (Cameron Diaz), pasangan suami-istri yang menemukan dan mengalami perjalanan pintu gerbang sejenis lorong waktu menuju alam pikiran John Malkovich/JM (diperankan langsung oleh John Malkovich). Selama 15 menit berada di JM, mereka bisa melihat, mendengar, dan merasakan apapun yang dilakukan JM.

Bagaimana kalau kita berada di alam pikiran Joko Anwar? Barangkali kita bisa mengalami seperti yang dialami pasangan suami-istri Schwart. Mengapa harus Joko Anwar, kenapa bukan sutradara lain seperti Teguh Karya, Syumanjaya, atau Slamet Rahardjo, yang lebih senior ketimbang Joko.

Dipilih Joko Anwar karena dia cukup unik. Unik dalam artian lain daripada yang lain, seperti: jadi pemberitaan karena berani tampil bugil di minimarket Circle-K Bintaro, demi memenuhi janjinya di Twitter, bila mendapat 3.000 pengikut (Follower); disebut-sebut sebagai pembuat film noir* pertama dari Indonesia untuk film “Kala”; dan film-filmnya banyak mendapat penghargaan, terakhir film “Pintu Terlarang” memenangkan penghargaan tertinggi sebagai film terbaik di Puchon International Fantastic Film Festival tahun 2009, yang berarti Joko telah mendapat pengakuan internasional.

Kalau faktor kedekatan sih enggak juga. Aku kenal Joko Anwar cuma dari film-filmnya, baca tentang dia di media, cuma sebagai follower-nya di Twitter, anggota pertemanannya di fesbuk (Facebook maksudnya), bekas tetangga beberapa blok/gang waktu di Medan, dan mantan seniornya waktu di SD dan SMP meski gak pernah saling kenal (so weird).

Tapi entah kenapa, aku begitu yakin Joko bakalan bisa berdiri di panggung Oscar suatu saat nanti, menyampaikan speech untuk Indonesia, bahkan duduk bersanding bersama my favorite directors: Steven Spielberg, Martin Scorsese, dan Francis Ford Coppola (mungkin ini cita-cita Joko juga). Joko memang belum pantas disejajarkan dengan ketiga sutradara fenomenal tadi, namun melihat kiprahnya sekarang, who knows, suatu saat nanti, maybe, itupun kalau dia terus serius menekuni profesinya sekarang, kecuali kalau dia pengen beralih jadi penari striptease seperti film “Boogie Nights” (semoga enggaklah, dijauhkan).

Pertama kali tahu Joko, saat nonton film “Arisan!”, di situ dia sebagai penulisnya, dan tampil sebagai comeo di film itu juga. Sangkin sukanya, aku nonton film itu berkali-kali. Berawal dari situ aku mulai penasaran sama Joko Anwar, tapi don’t worry gak sampai terobsesi seperti dalam film “Number One Fan” kok, apalagi sampai jatuh cinta.

“Being Joko Anwar” hanya satu keinginan untuk mengetahui dan mengupas isi kepalanya Joko Anwar, yang bisa membuat cerita film menjadi semakin unik. Kalau gak percaya tonton saja Arisan! (2003) (penulis), Janji Joni a.k.a. Joni's Promise (judul Inggris) (2005) (penulis/sutradara), Jakarta Undercover (2007) (penulis), Kala (2007) (penulis/sutradara), Quickie Express (2007) (penulis), Fiksi (2008) (penulis), dan Pintu Terlarang/The Forbidden Door (judul Inggris) (2009) (penulis/sutradara). Meski film-film yang kusebutkan tadi (mungkin) terinspirasi dari film-film lain, namun Anda tetap akan manggut-manggut tanda setuju.


* Film noir adalah sebuah istilah sinematik yang digunakan untuk menggambarkan gaya film Hollywood yang menampilkan drama-drama kriminal, khususnya yang menekankan keambiguan moral dan motivasi seksual. Periode film noir klasik Hollywood biasanya dianggap merentang dari awal 1940-an hingga akhir 1950-an. Film noir dari masa ini dihubungkan dengan gaya visual hitam-putih dalam pencahayaan yang rendah yang berakar dalam sinematografi ekspresionis Jerman.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More