Friday, June 25, 2010

BETAPA PUITISNYA FILM KITA

Tahun 80-an, usiaku baru menginjak remaja. Waktu itu ada beberapa judul film Indonesia yang sampai sekarang masih kuingat. "Sejuta Serat Sutra" merupakan salah satu judul yang paling kuingat. Judulnya cukup puitis ya, tapi maknanya sulit dimengerti. Ada juga "Di Balik Kelambu", baca judulnya saja membuat interpretasiku macam-macam. Yang tentu semuanya negatif, pikirku kala itu, pasti isi filmnya adegan ranjang semua, wuih, ternyata tidak, malah jalan ceritanya bagus. "Bukan Impian Semusim", judul ini nih yang buat aku jadi tambah bingung, susah dimaknai.

Adegan "Di Balik Kelambu"

Namun di antara ke semua judul puitis film 80-an itu, ada satu yang tak pernah kulupa, "Ranjang Pengantin", judulnya bukan puitis tapi kalau dibuat menjadi sebuah judul puisi pasti menarik dan sangat puitis, karena bisa dinterpretasikan ke beragam macam. Sebenarnya "Ranjang Pengantin" bukan masuk era 80, tapi tahun 70-an. Aku baru melihatnya sekitar tahun 80-an, apalagi film itu sering diputar ulang di acara "Film Cerita Akhir Pekan" jaman TVRI berjaya dulu, jadi kuanggap film itu masuk era 80. Film ini nih yang benar-benar film panas, sepanas hatiku ketika pertama kali menyaksikannya.

Bayangkan, adegan di pinggir pantai antara Slamet Rahardjo bareng Lenny Marlina cukup berani untuk ukuran film jaman itu. Film ini tak melulu adegan panas-panasan, alur ceritanya cukup bagus dan tragis. Ceritanya begini nie ....

Bram (Slamet Rahardjo) berasal dari keluarga di bagian kota yang kumuh. Perkawinannya dengan Nona (Lenny Marlina) tanpa restu orang tua Nona, karena Nona sudah dijodohkan dengan Paul (George Kamarullah). Suami-istri ini hidup dengan gaji Bram yang pas-pasan bersama Nien (Mieke Wijaya) seorang perawan tua kakak Bram. Sementara hubungan mereka dengan Nien kurang intim. Bram terkena sakit paru-paru, tetapi mamaksakan diri untuk bekerja terus. Nona mencoba meringankan beban keluarga dengan menerima jahitan dari Lili (Christine Hakim), istri muda pemilik bengkel tempat Bram bekerja. Hubungan ini memperuncing konflik keluarga. Akhirnya Bram bunuh diri dengan mengerat urat nadi tangannya dan meninggalkan sepucuk surat untuk Nona.

Adalagi film "Titian Serambut Dibelah Tujuh", judul yang paling bagus menurutku. Kalau diartikan secara eksplisit memang tak masuk di akal. Tapi ada makna yang tersembunyi di judul itu (makna implisit). Kalau maknanya sendiri banyak diartikan sebagai "titian yang lebarnya serambut dibelah tujuh, menuju ke sorga, di bawahnya neraka. Jadi, hanya orang-orang tertentu yang bisa lolos". Namun film ini tak berkisah tentang jembatan antara sorga dan neraka itu, ia berkisah tentang seorang guru yang datang ke sebuah kampung dan berusaha membawa perubahan di kampung tersebut, tapi ia tidak disukai oleh penduduk setempat. Mereka kemudian berusaha menyingkirkannya dengan tuduhan usaha pemerkosaan terhadap seorang gadis. Sementara itu, seorang warga yang dianggap alim menuduh seorang gadis muda sebagai tidak bermoral setelah gadis itu menolak rayuannya. Seorang ustadz yang sedang mengunjungi desa itu kemudian berusaha mengungkap kemunafikan masyarakat kampung tersebut.

Adegan "Titian Serambut Dibelah Tujuh"

Masih banyak judul-judul lain yang mengandung makna puitis dan sulit dinterpretasikan kalau tak melihat filmnya. Ada "Kabut Sutra Ungu", "Kerikil-Kerikil Tajam", "Secangkir Kopi Pahit", "Pelangi di Balik Awan", "Doea Tanda Mata", "Hatiku Bukan Pualam", dan Serpihan Mutiara Retak, masih ada yang mau menambahkan?


Adegan "Doea Tanda Mata

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More