Thursday, April 8, 2010

TRAGEDI LUMANG

Lumang terlahir dari keluarga urban yang miskin di Jakarta, ayahnya mantan preman yang beralih profesi menjadi tukang cukur rambut, sementara ibunya penjaja kue di pasar kaget di sebuah kampung ringkih di Banten. Lumang seharusnya punya dua saudara, tapi keduanya meninggal di dalam kandungan ibunya. Jadi tak heranlah ibunya sering mengenalkan Lumang sebagai anak yang diapit bangkai karena kakak dan adiknya itu mati sejak dalam perut.


Lumang selalu dimanja oleh kedua orang tuanya, karena mereka berharap Lumang menjadi manusia terdidik dan saleh. Namun sayangnya, kedua orang tua Lumang tak tahu bahkan tak menyadari, sejak kecil, selama 20 tahun pikiran Lumang setiap hari ditindih oleh suara desahan orangtuanya ketika bercinta. Maklum saja, rumah mereka hanya berdinding separuh tembok separuh tripleks, dan kadang pintu kamar kedua orang tua Lumang tersebut jarang terkunci. Lumang selalu disuguhi pemandangan orang tuanya yang sedang bergulat bugil di atas ranjang tripleks tua. Keadaan itu terus berlangsung sampai mereka pindah ke daerah Pasar Minggu - Jakarta. Lumang tetap dibayangi oleh lenguhan ibu-bapaknya dan deritan tripleks tempat tidur mereka.

Di kontrakan mereka yang kumuh dan sempit itu, desahan dan lenguhan itu malah makin berirama karena ketambahan desahan pasangan pengantin muda, Lastri dan Burhan, tetangga sebelah rumah Lumang. Di kamar sebelah itu, yang hanya dibatasi—lagi-lagi—dinding tripleks, beberapa kali Lumang berhasil mengintip Lastri dan Burhan bersenggama lewat lubang kecil seukuran diameter paku. Akibatnya, hati dan pikiran Lumang tak mampu mendamaikan angan-angannya tentang lenguhan, deritan, dan dinding tipis tripleks yang menyebarkan suara auman persetubuhan itu. Lumang selalu membayangkan tubuh ibunya dan Lastri di antara lenguhan-lenguhan mereka ketika bersetubuh dengan para suaminya. Untuk membebaskan angan-angan kotornya tentang kedua perempuan itu, Lumang pun kabur dari rumah, menyerahkan masalahnya pada jalanan.

Namun jalanan pun bungkam. Maka sehabis menenggak minuman beralkohol, ia putuskan balik ke kontrakan orangtuanya. Dan ia lihat Lastri sendiri bugil di kamarnya lewat lubang intipan favoritnya. Di pagi yang lengang tanpa orangtuanya itu, ia menghambur ke rumah Lastri secepat-cepatnya karena tak ingin lagi kalah dalam pertarungan kebebasan yang melelahkan itu. Usai mengunci pintu rumah, Lumang pun memangsa habis-habisan tubuh Lastri. Usai menggasak Lastri, Lumang memperkosa ibunya sehabis pulang dari jualan kue di Pasar Minggu. Dalam bayangan Lumang, pagi itu ia ingin mencobai bagaimana rasa tubuh ibunya yang saban waktu digarap bapaknya. Dan ia mendapatkan bahwa tubuh ibunya tak kalah menjanjikannya dengan tubuh Lastri. Dengan banjir airmata dan di bawah ancaman Lumang, ibunya melayani keganasan seksual puteranya.


Kebebasan pertama dan obsesi liar Lumang itu kemudian ia rayakan di jalanan Jakarta. Hampir setiap hari ia memperkosa paling sedikit tiga perempuan, baik di terminal, stasiun kereta, maupun perempuan yang lewat di tugu pancoran. Bukan hanya ibu-ibu muda yang diincarnya, tapi juga kelamin nenek-nenek.

Lumang pun menjadi pemberitaan di koran-koran ibukota, Jakarta pun geger, Polisi kalang kabut, dan Dinas sosial pun siaga satu karena banyak perempuan cacat mental berkeliaran di jalanan menenteng perut bunting akibat perbuatan Lumang.

Meski akhirnya Lumang menyesali perbuatannya pada kaum perempuan tersebut, namun Lumang tetap tak membiarkan kelaminnya nganggur begitu lama. Ia pun menyerang kaum lelaki, korbannya beragam, mulai dari anak-anak, preman, satpam, bahkan polisi yang lagi mangkal di posnya yang sepi di dekat tugu pancoran.

Puncak kebrutalan kelamin Lumang berhenti ketika kerusuhan Mei 1998 meletus. Lumang tersungkur dalam pikiran yang pelik di bawah jembatan pancoran setelah tahu bahwa telah terjadi perkosaan massal dan terorganisasi di seantero Jakarta. Ia merasa telah mengajarkan orang-orang itu memperkosa secara brutal lewat pemberitaan koran dan televisi secara massif. Akhirnya, Lumang pun memutuskan: memotong kelamin yang selama ini menjadi medium eksistensinya, dan membuang puntung eksistensi itu di tengah jalan yang padat. Lumang pun mati kehabisan darah di rumah sakit.

Tragedi Lumang merupakan tragedi kita semua, meski Lumang cuma tokoh rekaan dalam novel Sendalu karya Chavchay Syaifullah, namun sosok Lumang bisa menjadi kenyataan dan hidup dalam lingkungan sekitar kita. Masih ingat tentang Robot Gedek, Ryan, dan teranyar Baekuni alias Babe. Mereka punya masa kecil yang kelam dan berada dalam lingkungan sosial yang runyam. Mereka tercipta menjadi sosok monster pembunuh yang tak disangka-sangka oleh masyarakat sekitarnya. Kasih sayang yang mereka punya cuma menjadi kamuflase bagi mereka untuk menjerat para korbannya. Dan sosok semacam itu tak akan pernah berakhir dan akan terus hidup di sekitar kita ....

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More