
Hari pertama test kamarin berlangsung sekitar 2 jam, dimulai dari jam 8 hingga sekitar jam 10 pagi. Serangkaian test dijalani anakku, mulai berhitung, membaca, menulis, mencocokkan gambar, hingga mewarnai. Dari rumah sudah dipersiapkan oleh bundanya segala perlengkapan buat menghadapi test tersebut. Melihat kemampuan anakku, aku yakin dia berhasil melewati test tersebut. Bukan hanya hitung tambah-tambah saja dia yang bisa, hitungan perkalian juga dia sudah bisa. Membaca juga sudah bisa, meski terkadang suka kepeleset satu huruf, tapi tak terlalu fatal, paling enggak dia sudah bisa menamatkan satu buku tentang "Nilai dan Moral" yang kubeli buatnya.

Sekarang tinggal menunggu pengumuman hasil test tersebut. Seperti biasa, di kalangan orang tua calon murid beredar berita-berita yang tak mengenakkan telinga mengenai prosedur penerimaan siswa di sekolah dasar tersebut. Katanya, orang tua si A yang perwira itu telah bayar sekian juta ke pihak sekolah, agar anaknya bisa masuk ke sekolah itu. Orang tua si B yang berpangkat dan pejabat itu juga berbuat hal yang sama. Demikian juga orang tua si C dan D. Berita-berita berseliweran ke sana kemari buat hati ini ciut, memikirkan nasib anakku yang menurutku mampu menempuh test tersebut dengan baik. Aku tak habis pikir seandainya dia gagal cuma gara-gara aku tak mampu menyediakan dana sekian juta untuk memuluskan jalan masuknya ke sekolah tersebut. Gosip-gosip yang berlalu lalang itu aku tepis jauh-jauh, dan coba menghibur hati dan diri, "Nggak mungkinlah sekolah bermutu bagus itu melakukan hal-hal yang buruk itu". Semua kupasrahkan ke yang Atas. Kata si bunda, "Sudahlah, kalau memang yang terbaik pasti jalannya akan Dia muluskan."

Kenanganku terlempar ke 32 tahun yang lalu, tahun 1978. Masa itu, untuk pertama kali aku masuk Sekolah Dasar Negeri yang tak jauh dari rumah, di Medan sana. Yang paling kuingat, Ibuku cuma membawaku ke sekolah itu, ikut antri bersama orang tua calon-calon murid lain, dan oleh kepala sekolah aku cuma disuruh menggapai telinga kiriku dengan tangan kananku lewat atas kepala, kalau nyampe atau bisa kuraih berarti aku sudah siap masuk sekolah, cuma itu. Test kemampuan yang cukup sederhana. Waktu itu aku belum mengenal satu huruf dan angka pun. Apalagi kalau disuruh membaca pasti tak bisa. Semuanya berjalan mulus dan aku pun sekolah di SD tersebut. Di dalam kelas, aku diajari mengenal huruf dan angka, kemudian merangkainya menjadi satu kata dan kemudian kalimat. Itu kulalui selama 3 bulan, instan memang, dan aku bisa membaca koran pada akhirnya dalam kurun 3 bulan itu. Hebat memang, tapi itu bukan karena kepintaranku, tapi karena kegigihan guruku yang membuatku seperti itu.

0 comments:
Post a Comment