Wednesday, July 14, 2010

BELAJAR MENGHARGAI DIRI SENDIRI

Tak hanya orang lain yang perlu dihargai, diri sendiri pun harus dihargai. Bagaimana orang bisa menghargai diri kita kalau diri sendiri tak dihargai. Banyak cara menghargai diri sendiri, mulai dari menjaga sikap dan perkataan hingga memperhatikan penampilan biar sedap dipandang mata. Sedap dipandang mata tak harus memakai pakaian mahal dan bermerk, atau mengenakan aksesories yang mahal, atau mempunyai wajah cantik dan rupawan. Semuanya serba relatif, tergantung cara kita mau menampilkan diri kita seperti apa.

Terus terang, tulisan ini terinspirasi gara-gara seorang teman. Temanku itu masih single, belum punya pacar, apalagi istri. Usianya sudah menginjak kepala empat, namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda dia bakal punya pasangan. Dalam beberapa pembicaraan, dia ingin punya istri yang cantik, putih, pintar, smart, mandiri, dan tidak morotin alias tidak matre. Keinginan itu wajar sebagai seorang laki-laki normal, dan hampir semua laki-laki punya keinginan seperti itu. Mungkin gara-gara itu temanku masih ngejomblo sampai sekarang karena belum ketemu pasangan yang pas. Namun bukan hal itu yang ingin kupermasalahkan. Sebagai seorang laki-laki dia kurang gentle. Dia kurang berjibaku untuk mendapatkan kekasih pujaannya, gampang menyerah, kurang percaya diri, dan minderan. Hingga beberapa perempuan yang pernah ditaksir terbang begitu saja tanpa sempat didekati.

Ironisnya, beberapa teman lain yang ingin membantu dia untuk mendapatkan jodoh, dia tolak mentah-mentah. Alasannya, perempuan yang diperkenalkan padanya itu tak sesuai dengan kriteria yang ia inginkan, yang terlalu gendutlah, terlalu hitamlah, kurang cakeplah, dan sebagainya. Parahnya, dia mengatakan itu sambil tertawa. Pernah terpikir olehku kalau temanku ini seorang tak tahu diri. Pikiranku itu ada benarnya dan seharusnya dia berkaca pada diri sendiri.

Secara fisik dia bukan golongan yang tampan dan gagah perkasa, kemampuan otak juga pas-pasan, tidak pintar-pintar amat, dan tidak bodoh-bodoh amat. Secara finansial, dia sebenarnya bisa membuat dirinya lebih menarik lagi. Zaman sekarang, apa sih yang tak bisa buat seseorang menjadi menarik dan sedap dipandang, asal ada uang semua bisa terlaksana. Sayangnya, temanku itu tak berpikiran seperti itu.

Dia terlalu tak peduli dengan apa yang dia pakai. Kalau diamati, baju yang ia pakai sehari-hari ke kantor tak lebih dari beberapa potong. Ini kelihatan dari corak dan model baju yang ia pakai dari hari ke hari, itu-itu saja, kecuali kalau dia memang membeli baju yang sama untuk beberapa lusin. Demikian juga dengan celana yang ia pakai, sering tak matching dengan atasannya karena celana yang dia punya pun bisa dihitung dengan jari. Terlalu cuek memang temanku itu.

Kalau dikatakan tak punya uang, that's impossible. Dengan gaya hidup yang sederhana dan tak royal, dia bisa menabung lebih dari cukup setiap bulannya. Dia tak menghambur-hamburkan uangnya untuk nonton di bioskop, bahkan rekreasi ke luar kota juga tak pernah, hidupnya cuma untuk kantor, kost-an, dan rumah orangtuanya. Bahkan selama bertahun-tahun bekerja, isi kamar kost-nya cuma ada satu tempat tidur pemberian pemilik kost tersebut, satu lemari kecil, dan ember, that's it, tak ada yang lain, TV pun tak punya, apalagi perangkat Home Theatre dan Hi-fi.


Awalnya kupikir, dia menanggung hidup orang tua dan saudara-saudaranya, namun nyatanya tidak. Orang tuanya punya cukup biaya untuk menghidupi diri mereka sendiri, punya mobil, bahkan anak-anak orang tuanya itu sudah mendapat jatah rumah, termasuk temanku itu. Jumlah saudaranya pun tak banyak. Mereka cuma bertiga, dia anak yang tengah. Saudara-saudaranya pun sudah mandiri semua, dan tak ada yang nyusah.

Hidup cuma sekali dan temanku itu tak menikmati hidupnya sendiri. Penghargaan atas dirinya tak ditempatkan pada posisi yang utama. Seharusnya dia belajar menghargai dirinya sendiri. Untuk apa uang disimpan kalau tak bisa menyenangkan diri sendiri. Selama berteman dengannya tak kulihat dia memiliki satu prioritas pun, dan tak tahu apa yang ingin dicapai dalam hidupnya. Meskipun ada, dia tak terlalu gigih untuk mendapatkannya. Dia cuma berdoa, tafakur, dan berserah diri sama yang di Atas. Beberapa nasihat pernah terlontar padanya, namun sayang, semua tak berarti. Dia tetap dengan pilihan hidupnya, mengharap perempuan cantik, tanpa berusaha memperbaiki diri. Aku jadi bertanya sendiri, temanku itu menjalani hidup hemat atau pelit ya?

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More