Tuesday, October 25, 2011

KECAP NO. 1

Menjelang pemilihan presiden, banyak calon yang jual kecap. Semuanya ngaku punya kecap nomor satu. Mereka juga tak segan kalau kecap calon lain tak bermutu, bukan nomor satu. Seperti halnya pedagang di kaki lima, mereka menyebut kecapnya paling baik. Mereka pun mengumbar janji agar kecapnya laku terjual. Mereka begitu ramahnya menyapa calon pembeli. Senyum sumringah tersungging lebar. Rangkulan tangan pada calon pembeli begitu akrab menyentuh, tak peduli pengemis, pemulung, pedagang asongan, atau pejabat tinggi. Semua pihak mereka rangkul dengan tangan terbuka. Mendekap mereka dengan penuh kehangatan.

Bahkan, para calon itu pun tak segan-segan memberi bonus plus-plus biar kecapnya dibeli orang. Banyak bonus yang mereka gelontorkan. Selain beli satu dapat sepuluh, mereka juga menjanjikan jalan raya yang mulus bila kecapnya laku terjual. Tak hanya itu, mereka pun memberi tambahan bonus yang lain, mulai dari pendidikan gratis, sembako yang murah, memberi pekerjaan, rasa aman dan damai, bebas korupsi, hingga biaya pengobatan yang murah dan gratis.

Mulut mereka sampai berbusa menjual kecap nomor satunya. Biar tak garing, mereka juga mengundang penyanyi terkenal, menghibur para calon pembeli sebagai ajian lain agar mereka terpesona. Anak-anak pengemis, orang tua kere, hingga para pesakitan mereka beri ciuman kehangatan sembari berbisik, "Hidupmu akan lebih baik jika kecap saya kamu pilih, gratis lagi, tak perlu bayar". Setelah itu, mereka pun memberi sangu pengganti ongkos pulang sambil melambai tangan ke arah mereka dengan senyum tak pernah lepas.

Saat hari H-nya tiba, kecap nomor satu mereka pun laku terjual. Banyak calon pembeli yang memilih kecap mereka. Semua tertawa penuh kemenangan. Bagi pembeli, sudah terbayang di pelupuk mata, kebahagiaan dan kemakmuran buat mereka.

Sebulan, setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga lima tahun kemudian, tak ada satu pun janji pedagang kecap nomor satu itu yang direalisasikan. Banyak saja alasan mereka. Janji-janji manis yang diucapkan, senyum ramah yang sumringah, rangkulan yang hangat dan terbuka lebar tak lagi ditemukan. Jangankan menerima rangkulan, menemui mereka pun sulitnya minta ampun. Ada saja aturan yang harus dipenuhi kalau ingin bertemu. Padahal, mereka begitu dekatnya waktu jualan kecap, tak ada batasan, apalagi rintangan. Bahkan, nafas mereka pun bisa tercium apakah bau pete, atau jengkol.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More