Saturday, January 7, 2012

PENCITRAAN ALA SI KUNYUK

Teman saya, sebut saja namanya si Kunyuk, nama itu cocok buat dia. Dasar kunyuk ya tetap kunyuk. Dia itu senang sekali buat pencitraan, terutama di kalangan orang-orang yang baru dia kenal. Apalagi kalau lingkungannya dipenuhi oleh kalangan orang-orang top kayak selebritis walau top-nya cuma di kalangan komunitas saja, teman saya itu akan semaksimal mungkin melakukan pencitraan. Biar dikata baik, penuh perhatian, dan cinta sesama, pokoknya biar dikata uhuy.

Sebenarnya, kalau saya tak kenal dia, saya pun akan menganggapnya orang baik dan benar-benar baik. Sayangnya, saya kenal betul dengan si kunyuk itu, sudah lebih sepuluh tahun saya mengenalnya. Sialnya, teman seprofesi juga. Jadi, saya tahu betul siapa dia. Bahkan, segala kebaikan yang dia lakukan selalu saya sangka "ada udang di balik batu". Ironisnya, sangkaan saya itu 99,99 persen benar semua, sisa yang 0,01 persen lagi hanya Tuhan yang tahu.

Dalam komunitas barunya (dan lagi-lagi, saya juga satu komunitas dengan dia), si Kunyuk tiba-tiba menjadi anak baik, penuh perhatian, punya rasa simpati dan empati yang tinggi, dan tiba-tiba saja dia menjadi seorang dermawan pula, ringan tangan untuk membantu, dan lebih banyak tersenyum. Bravooo, excellent, and fantastic, demikian penilaian saya melihat perubahannya. Dia tak perlu berevolusi selama jutaan tahun seperti makhluk purba untuk menjadi orang yang elegan itu, dia cuma butuh waktu dalam hitungan detik.

Kenyataannya, sikap si Kunyuk jauh panggang dari api. Seorang teman saya yang lain, sebut saja namanya Leman, pernah punya pengalaman tak sedap dengan si Kunyuk. Suatu sore, saat bubaran kantor, Leman menawarkan kebaikan pada si Kunyuk. Leman mengajak Kunyuk pulang bareng karena sore itu sedang hujan gerimis. Leman tak tega melihat Kunyuk berjalan pulang di kegerimisan itu. Berboncengan dengan motor si Leman, Kunyuk pun diantar pulang hingga sampai dekat rumahnya.

Esok harinya, si Leman kembali bertemu dengan si Kunyuk di depan kantor. Leman pun menegur Kunyuk dengan akrabnya. Apa yang terjadi? Si Kunyuk diam saja, seperti tak kenal dengan si Leman. Leman cuma tertegun melihat si Kunyuk, bak kata pepatah "Panas setahun dihapus oleh hujan sehari".

Di lingkungan kerja, si Kunyuk memang dikenal sebagai orang tak pedulian, cuex kata anak-anak sekarang. Ada teman yang sakit, si Kunyuk tak pernah ikut membezuk. Ada teman yang nikahan, si Kunyuk tak pernah menghadiri. Ada teman yang berduka karena kehilangan orang yang dicinta, si Kunyuk tak pernah ada. Entah karena apa si Kunyuk berbuat demikian. Entah karena tak mau keluar uang, tak punya waktu, atau lagi tak punya uang seperti yang sering dikeluhkannya (padahal gadget-gadget mutakhir dia punya). Yang pasti, tiap ada acara-acara empati sosial demikian, si Kunyuk ogah hadir. Apalagi kalau kegiatan tersebut mengharuskan si kunyuk keluar uang buat disumbangkan, jangan harap si Kunyuk turut serta.

Kunyuk juga sangat pelit dengan senyuman. Kalau berpapasan dengan teman-teman lain, si Kunyuk tak pernah tersenyum apalagi menyapa. Yang aneh lagi, si Kunyuk punya saudara ipar perempuan di tempatnya bekerja. Layaknya hubungan saudara, seharusnya lebih mesra bukan. Nyatanya tak demikian, si Kunyuk tak pernah terlihat bertegur sapa dengan saudaranya itu. Kesan perang dingin begitu melekat di antara mereka. Entah masalah keluarga apa yang menjadikan hubungan mereka begitu dingin, sedingin es di Kutub Utara dan Selatan. Sebenarnya, sejujujurnya, saya tahu sih masalah apa yang membuat mereka jadi seperti itu, saya dapat info langsung dari keduanya. Tapi sutralah, itu urusan keluarga mereka. Akhirnya, lama-lama, orang-orang di lingkungan (kerja) si Kunyuk pun terbiasa dengan sikap si Kunyuk. "Lagu lama", kata teman-teman saya yang lain, namun tetap jadi bahan omongan dan dibuat lucu-lucuan yang cukup menghibur.

Di lingkungan barunya, di sebuah komunitas sosial media yang baru diikutinya sekitar setahun belakangan ini, sikap Kunyuk berubah 360 derajat. Entah karena ingin berubah atau hanya sekadar pencitraan di lingkungan orang-orang baru tersebut. Si Kunyuk berubah menjadi sangat baik, ramah, selalu tersenyum, suka bersimpati dan ber-empati. Apalagi di lingkungan tersebut ada selebritisnya. Si Kunyuk pun pernah membantu seorang seleb untuk menyalurkan sumbangannya pada orang-orang tak mampu meski dia harus berkorban uang dan tenaga.

Gara-gara itu, si Kunyuk merasa sudah akrab dengan si seleb walau baru ketemu tiga kali, itu pun bukan suatu pertemuan khusus, hanya kebetulan atau si Kunyuk yang maksa-maksa si seleb untuk ketemu. Bahkan, si Kunyuk pun selalu ringan tangan membantu mendorong kursi roda seorang arsitek terkenal penderita stroke. Dia juga turut memapah si arsitek ketika berjalan. Sayangnya, perbuatan ini tak pernah terlihat di lingkungan tempat si Kunyuk biasa berada.


Memang, si Kunyuk berhasil gemilang dalam melakukan pencitraan di lingkungan barunya. Di lingkungan tempat dia selama ini berada, si Kunyuk tetaplah kunyuk, dia tetap dikenal sebagai orang tak pedulian, pelit, dan mau enak sendiri. Tragis!

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More