Zuragan Qripix (ZQ), seorang teman dari media sosial Kompasiana pernah menulis tentang percakapan antara seorang pengemis dengan seorang manajer. Dalam percakapan tersebut si manajer memandang rendah si pengemis karena ikut-ikutan antri makan siang di sebuah restoran yang mahal. Si manajer yang bergaji 10 juta per bulan itu merasa si pengemis hanya akan menghabiskan uang hasil ngemisnya dalam sekejap.

Si manajer pun penasaran dan langsung menanyakan jumlah penghasilan yang bisa diperoleh sang pengemis dari hasil mengemis dalam sebulan. Si pengemis pun menjawab, "Saya ngemis dari jam 07.00-17.00. Lampu merah di pertigaan tempat saya mangkal waktunya sekitar 60 detik. Dalam 60 detik itu paling nggak saya bisa dapet 2.000. Dalam satu jam terdapat 30 kali lampu merah, berarti, dalam satu jam itu saya bisa dapat 60ribu. Dalam satu hari saya kerja 10 jam, dipotong sejam buat istirahat. Jadi, penghasilan saya dalam sehari bisa mencapai 9 jam x 60.000 = 540ribu. Dalam satu bulan saya bekerja selama 26 hari. Artinya, dalam satu bulan itu saya bisa dapat penghasilan sekitar 26 x 540ribu = 14.040.000".
Kemudian si pengemis melanjutkan lagi, "Saya ngemis sudah 20 tahun, sudah punya 2 mobil BMW, kartu kredit platinum, apartement, 3 rumah di kawasan elite, anak saya belajar di international school, dan saya sekeluarga sudah sering keliling dunia. Minggu besok, rencananya saya mau bulan madu ke Italy lagi, hehehehe …".
Baca tulisan si ZQ itu saya cukup terperangah. Tulisan ringan dan segar (walau ditaruh di kanal fiksinya Kompasiana) membuat saya teringat dengan pengemis-pengemis di setiap perempatan lampu merah. Apalagi selama lebih dari 10 tahun ini saya selalu melewati perempatan Pasar Ciawi-Bogor, dan selalu berpapasan dengan seorang pengemis perempuan yang itu lagi itu lagi. Kalau dikalkulasi, bisa jadi penghasilan pengemis perempuan tersebut setara dengan penghasilan pengemis hasil rekaan si ZQ.
Saya pun teringat kembali dengan seorang anak pengemis yang pernah saya lihat di gerbong kereta ekonomi jurusan Bogor-Jakarta beberapa tahun lalu. Kebetulan, salah seorang penumpang yang duduk di sebelah saya mengenal keluarga anak itu dan bertetanggaan dekat. Kata penumpang itu, keluarga anak pengemis tersebut sudah punya banyak rumah kontrakan dari hasil mengemis. Walau sudah punya rumah kontrakan yang bisa menopang hidup mereka, keluarga pengemis itu tetap menjalankan profesi mengemisnya karena lebih menguntungkan. Tak perlu kerja keras, cuma modal menengadahkan tangan ke orang lain.

1 comments:
mungkin lebih bijak bagi para dermawan untuk tidak bersedekah secara langsung, melainkan melalui lembaga2 BAZIS dan lain-lain..
Post a Comment