Wednesday, December 28, 2011

BELAJAR DARI ASRUL SANI

Kalau tak salah ingat, tahun 1998, sekitar 13 tahun yang lalu saya sempat bertatap muka dengan Asrul Sani. Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir kali. Setelah itu saya tak pernah bertemu beliau lagi. Walau pertemuan itu tak diwarnai dengan suatu percakapan, namun saya bisa mendengar tutur bahasa beliau yang terkenal runtut dan sistematis.

Kesempatan satu-satunya itu saya peroleh saat menghadiri peluncuran buku kumpulan puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Malu (aku) Jadi Orang Indonesia” di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Banyak sastrawan Indonesia yang berkumpul atau hadir di acara itu, ada Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Mochtar Lubis, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Adjidarma, termasuk Asrul Sani dan istrinya Mutiara Sani.

Asrul Sani menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku tersebut, sedang Putu Wijaya menjadi sang moderatornya. Oleh tante saya, Rayani Sriwidodo, saya sempat dikenalkan pada mereka. Walau tak sempat bercakap-cakap dengan para sastrawan itu namun paling tidak saya bisa menyapa mereka dan mereka juga menyapa saya. Tak hanya cerdas dan pintar, ternyata mereka juga lebih membumi atau down to earth kata orang bule sana.


Sebelum acara bedah buku karya Taufiq tersebut berlangsung, ada beberapa atraksi seni yang ditampilkan. Salah satunya adalah penampilan Sutardji Calzoum Bachri. Sutardji membacakan puisi karyanya, saya lupa judulnya apa. Dalam pembacaan puisi tersebut, Sutardji benar-benar menghayati pembacaan puisinya dan sangat demonstratif, aksi teatrikal pun dia mainkan, termasuk menjatuhkan tubuhnya di atas panggung seperti berguling demi sebuah penghayatan, aksi kelucuan pun juga ada. Waktu itu saya benar-benar menikmati tontotan itu, bukan hanya menghibur, tapi juga saya anggap sebagai suatu aksi gila dari seorang Sutardji, yang mampu membuat saya terkesan dan makin mencintai puisi dan karya sastra lainnya. Decak kagum pastilah ada. Selama ini saya cuma mengenal Sutardji dari buku Bahasa Indonesia saat belajar tentang puisi.


Acara inti pun tiba, Asrul Sani, Taufiq Ismail, dan Putu Wijaya tampil di depan. Bedah buku “Malu (aku) Jadi Orang Indonesia” pun dimulai. Dibuka oleh Putu Wijaya, kemudian dilanjutkan oleh Asrul Sani. Kesan pertama saat mendengar petatah-petitih Asrul Sani memang luar biasa. Kata per kata yang dirangkai menjadi kalimat demi kalimat benar-benar terangkai menjadi suatu bahasa yang enak didengar, runtut, sistematis, dan benar-benar bisa dijadikan suatu karya tulis, makalah, paper, atau sebangsanya.


Ajaibnya, saya tak merasa bosan, apalagi mengantuk. Rasa ingin tahu untuk mendengar celoteh Asrul Sani terus menggebu. Tutur kata dan penceritaannya seperti sebuah jalinan cerita yang ingin terus saya ikuti. Ada rasa penasaran di situ hingga membuat saya tetap bertahan di kursi hingga acara usai. Dan benar saja, semua yang diungkapkan oleh Asrul Sani dalam bedah buku Taufiq Ismail tersebut dimuat dalam majalah Horizon dua minggu kemudian. Membaca versi lisan Asrul Sani dan tulisan di Horizon tak jauh berbeda. Tak ada editan dalam tulisan tersebut. Apa yang dikatakan dan dituturkan Asrul Sani sama persis seperti yang dimuat dalam majalah Horison.


Hebat, tentu saja hebat. Cuma orang cerdas yang bisa seperti itu. Bahasa lisan bisa langsung dijadikan bahasa tulisan, Jadi, apa yang dijelaskan oleh Asrul tentang suatu masalah, termasuk opini dan tanggapan yang diberikan oleh beliau bisa langsung dijadikan tulisan. Keruntutan, kesistematisan, kekayaan kata, hingga tanpa banyak pengulangan kata maupun kalimat bisa dituturkan beliau hingga menjadi sebuah tulisan yang apik. Jarang-jarang orang bisa seperti ini. Yang pernah saya dengar, Gus Dur juga memiliki kemampuan seperti ini. Gus Dur cukup berkata-kata dan sekretarisnya yang menuliskan setiap kata yang keluar dari mulut beliau.


Saya tak bisa membayangkan, berapa buku yang telah dibaca oleh Asrul Sani. Mungkin ratusan, ribuan, bahkan jutaan. Selain cerdas, hanya orang yang banyak membaca bisa seperti itu. Asrul Sani pasti gila baca, Gus Dur juga demikian. Masa muda hingga masa tua, mereka gunakan untuk membaca dan membaca. Kekuatan suatu tulisan dan pengembangan ide tentu sangat tergantung dari bahan bacaan yang pernah kita baca. Demikian pula dengan kekayaan kata dan variasi kata yang dimiliki tentu akan kita peroleh dengan banyak membaca. Makin banyak buku yang kita baca tentu frame of reference yang kita miliki akan makin banyak dan lengkap pula. Setiap sastrawan atau penulis pasti suka baca. Kalau tidak, tak mungkin mereka bisa melahirkan karya sastra yang hebat dan mengagumkan.


Sepertinya, saya harus belajar dari seorang Asrul Sani.


Catatan
:

Tulisan ini sudah saya posting di Kompasiana

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More